Ruang Diskusi 5

Kesimpulan dan Rekomendasi yang dihasilkan dari Konsultasi Digital Nasional untuk Mengkaji Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) Tahun 2014-2019

Kesimpulan dan Rekomendasi yang dihasilkan dari Konsultasi Digital Nasional untuk Mengkaji Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) Tahun 2014-2019

Daftar Isi

Terimakasih kepada seluruh peserta review digital RAN P3AKS yang sudah mendedikasikan waktu untuk memberi masukan penting. Berikut draft hasil kesimpulan dan rekomendasi yang kami olah dari masukan kawan-kawan di 4 ruang diskusi yaitu pilar pencegahan, penanganan, pemberdayaan dan partisipasi, dan satu ruang tentang extremisme. Kami berharap kawan-kawan dapat mencermati berdasarkan masukan yang pernah dimunculkan dalam review digital, untuk memastikan tidak ada poin penting yang terlewat, dan juga mengkoreksi kalau ada formulasi yang kurang tepat.

Masukan akan berlangsung dari Minggu 06 September 2020 dan akan ditutup pada Sabtu 12 September 2020 Pukul 24.00 Wib. Setelah itu akan kami sempurnakan untuk menjadi masukan pada arah kebijakan perdamaian dan keamanan di Indonesia, khususnya penyusunan RAN P3AKS tahab 2.
Terimakasih dan hormat kami

Yuniyanti Chuzaifah dan Fitriani

1. Capaian dan Arti Strategis RAN P3AKS: Catatan Pengantar

0
Kirim Masukanmu disinix

Indonesia telah mengadopsi agenda Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 mengenai Perempuan, Perdamaian dan Keamanan (Women, Peace and Security) melalui Peraturan Presiden No. 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial di bawah payung hukum Undang-Undang No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.  Untuk melaksanakan Perpres No. 18 tahun 2014 tersebut, pemerintah mengeluarkan “Rencana Aksi Nasional untuk Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) 2014-2019”. Pencapaian ini menambah instrumen regulasi dalam institusionalisasi hak-hak perempuan di Indonesia sejak reformasi 1998 yang mengacu pada CEDAW dan mendapat apresiasi dari banyak pihak di dalam dan luar negeri. RAN menjadi instrumen yang menguatkan kerja berbagai lembaga negara maupun non negara, dalam mendorong upaya perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam penanganan konflik sosial. Untuk menyebut sebagai contoh, adalah penggunaan instrumen RAN oleh Komnas Perempuan, dalam mendorong penyelesaian berbagai kasus konflik untuk memastikan perlindungan dan pemberdayaan perempuan (seperti dalam kasus Kendeng, Seko dan konflik sosial lainnya). Begitu juga bagi banyak organisasi masyarakat sipil, RAN telah menjadi instrumen yang menguatkan upaya advokasi yang dilakukan.

Sejak diluncurkannya tahun 2014, Kelompok Kerja Rencana Aksi Nasional yang didukung oleh organisasi-organisasi sipil telah melakukan uji coba Rencana Aksi Daerah (RAD) di beberapa provinsi. Perjalanan mendorong RAN dan RAD ini juga menunjukkan upaya menerjemahkan instrumen global dengan kondisi dan kebutuhan nasional dan daerah. Kontekstualisasi instrumen global bisa ditunjukkan dengan menemukan pengalaman-pengalaman di tingkat komunitas dan lokal, terutama terkait dengan pengalaman perempuan dalam menghadapi konflik: dampak konflik berbasis gender yang membutuhkan upaya pencegahan dan penanganan, serta pentingnya memastikan keterlibatan perempuan sebagai agensi dalam mendorong perdamaian dan penanganan konflik. Pada sisi yang lain, inisiatif lokal juga menjadi sumber dan referensi penting dalam perjalanan dan perkembangan instrumen global Resolusi 1325. Melalui ini, kita melihat pertautan yang bersifat timbal balik antara instrumen dan praktek global dan lokal.Terwujudnya RAN P3AKS dan RAD menggambarkan bahwa demokrasi telah memfasilitasi relasi pemerintah dan masyarakat sipil dengan baik sehingga membuka ruang komunikasi yang lebih setara. Hal ini juga menunjukkan, terbangunnya kepemilikan bersama baik oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil terhadap RAN / RAD ini. Dalam inisiatif mendorong perubahan, kepemilikan bersama adalah modalitas penting untuk mendorong keberlanjutan upaya mendorong perubahan dalam jangka panjang.

Periode RAN P3AKS 2014-2019 telah selesai. Terinspirasi oleh studi global 15 tahun pelaksanaan Resolusi 1325 yang dilakukan pada tahun 2015, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang selama ini telah bekerja mempromosikan hak asasi perempuan dan kesetaraan gender melaksanakan “Konsultasi Digital Nasional untuk Mengkaji Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial Tahun 2014-2019”. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penyusunan RAN P3AKS periode berikutnya.

2. Metodologi Review Digital

0
Kirim Masukanmu disinix

Konsultasi digital dalam rangka mengevaluasi RAN P3AKS 2014-2019 dilakukan dengan tujuan untuk:

  • Melihat pelaksanaan Perpres No. 18 tahun 2014 di 15 provinsi yang merupakan lokasi uji coba Rencana Aksi Daerah;
  • Mengkaji hal-hal lain seputar agenda Perempuan, Perdamaian dan Keamanan yang belum dibahas dalam RAN, tetapi dalam lima tahun terakhir kuat muncul di daerah; dan
  • Mengevaluasi adanya perubahan sifat dasar konflik (nature of conflict), akar masalah dan aktor-aktor baru yang terlibat dalam konflik
  • Mencari rekomendasi untuk mendorong efektivitas, relevansi, efisiensi dan keberlangsungan jangka panjang agenda Perempuan, Perdamaian dan Keamanan di Indonesia

Sejumlah tahapan untuk menjalankan review pelaksanaan RAN P3AKS 2014-2019 telah dilangsungkan pada bulan Maret 2020 dengan melibatkan sejumlah organisasi, think tank dan juga para ahli yang terlibat sejak awal dalam perumusan RAN. Namun terkendala untuk menjangkau 34 provinsi di seluruh Indonesia dan pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas, hadir inovasi untuk membawa konsultasi ke ranah digital yang diharapkan mampu menjangkau partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat sipil yang lebih luas bila dibandingkan dengan melakukan pertemuan diskusi tatap muka fisik.

Konsultasi digital dilangsungkan secara daring melalui laman situs https://wps-indonesia.com/ mulai dari 26 Juli hingga 31 Agustus 2020. Terdapat lima ruang diskusi di mana peserta bisa ikut memberi masukan, yakni

  • Pencegahan Konflik dan Keterlibatan Perempuan;
  • Penanganan Konflik dan Pemulihan Korban Perempuan dan Anak;
  • Pemberdayaan dan Partisipasi Perempuan dan Anak;
  • Perempuan dan Pencegahan Ekstremisme Kekerasan; serta
  • Rekomendasi Publik.

Diskusi dilakukan secara tertulis di laman situs, selain itu peserta diskusi juga dapat mengirimkan dokumen, pesan gambar, serta data yang bisa dibagikan melalui lampiran. Metode pengumpulan informasi juga dilakukan dengan melakukan diskusi terbatas kelompok (focus group discussion) secara online melalui ruang meeting online Zoom baik berdasarkan tema, antara lain konflik sumber daya alam dan isu kontra terorisme, maupun melibatkan kelompok yang dikhawatirkan terkendala mengakses review digital ini, khususnya komunitas korban.

Meski konsultasi dilakukan secara digital, namun diskusi baik tertulis maupun secara langsung tatap muka online berjalan secara efektif disebabkan karena pandemi Covid-19 telah membiasakan diskusi melalui jalur elektronik. Atas kondisi ini, pembahasan konsultasi digital kemudian mengikutsertakan aspek-aspek baru dari dinamika sosial yang berkembang untuk bisa diintegrasikan dalam implementasi RAN P3AKS. Sebagai contoh adalah ekstremisme kekerasan yang berdampak pada agensi perempuan yaitu mencerminkan pergeseran norma gender dalam terorisme dan kontra-terorisme. Berikut ini adalah kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan.

3 Kesimpulan

0
Kirim Masukanmu disinix

3.1. Poin-poin kesimpulan umum

Kompleksitas dan pola baru konflik :

Beberapa akar konflik yang dibahas dalam diskusi adalah konflik jangka panjang dan massif seperti konflik sumber daya alam yang minim dibahas dalam RAN P3AKS. Konflik lain yang tak kunjung usai adalah ketegangan antar umat beragama (seperti kasus GKI Yasmin, Syiah, Gafatar, penghayat) dan persekusi terhadap kelompok minoritas  masyarakat (antara lain terhadap etnis minoritas, masyarakat adat, juga kelompok rentan diskriminasi lain). Review ini juga mengidentifikasi potensi konflik periodik yang ditimbulkan dari persaingan kepentingan politik dalam pemilihan umum, baik nasional maupun daerah. Konflik sudah turun ke desa, menghadap-hadapkan antar masyarakat, namun tidak diimbangi dengan kemampuan mendamaikan di tingkat komunitas. Isu krusial lain adalah soal radikalisme dan ekstrimisme kekerasan yang dirasakan belum punya formula penyelesaian yang strategis.

Makna aman dan peran keamanan :

Review ini menyoal peran militer dan polisi yang harus memiliki kacamata baru dalam memaknai rasa aman dan tidak mengedepankan tindakan represif yang berpotensi menyisakan konflik jangka panjang. Mengutamakan keamanan manusia bersanding dengan keamanan negara menjadi kunci. Membangun rasa aman juga dapat dengan upaya dialog damai dan langkah untuk penyelesaian konflik yang tidak meningkatkan durasi konflik, (seperti dalam konflik  di Papua atau konflik sumber daya alam yang menonjol terkait dengan komoditas tambang dan sawit). Lebih jauh lagi  pemahaman sensitif gender di kalangan aparat keamanan menjadi kunci dalam penanganan konflik , secara khusus harus mempunyai pengetahuan atas UU P3AKS dan RAN, serta RAD turunannya, untuk memahami bahwa aman bagi perempuan adalah dari segala bentuk kekerasan baik saat konflik yang tidak otomatis bebas kekerasan saat konflik berakhir.

Relasi gender dan tantangan“politik kehadiran” perempuan:

Politik kehadiran perempuan memiliki makna tidak hanya sekedar kehadiran fisik, namun juga kehadiran yang membawa warna dan makna dengan mempengaruhi keputusan yang lebih adil gender. Pengalaman keterlibatan perempuan telah menunjukkan bukti, kualitas dan responsivitas kebijakan dan keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan penanggulangan konflik. Namun demikian, terdapat beberapa tantangan tentang ketidakadilan gender dalam konteks konflik ini : 1).  Upaya penanganan dan pencegahan  konflik yang masih bersifat maskulin sehingga kerap mengesampingkan pengalaman dan partisipasi perempuan. Perempuan belum sepenuhnya memiliki posisi tawar yang setara sebagai juru damai walau dianggap memiliki kemampuan komunikasi yang persuasif dan berkemampuan menjadi juru damai, namun kerap laki-laki yang tampil melanjutkan negosiasi dan penandatanganan kesepakatan damai di ruang formal (seperti yang terjadi di Aceh), 2). Minimnya peningkatan kapasitas yang sesuai dengan kebutuhan perempuan, karena program-program yang ada tidak sedikit yang bias gender, padahal tidak sedikit perempuan yang menginginkan kapasitas lebih seperti pengembangan kepemimpinan termasuk menjadi juru damai dan akses untuk mendapatkan sumber kehidupan, 3). Minimnya ruang-ruang strategis, baik ruang aman bagi perempuan korban, ruang perjumpaan untuk berdiskusi, berjejaring, dan berpartisipasi dalam negosiasi damai, 4). Budaya patriarki yang mengakar, sehingga menghambat keterlibatan dan tumbuhnya kepemimpinan perempuan. Bentuknya bisa dilihat dari minimnya pengakuan akan potensi dan bukti kepemimpinan perempuan, hingga tantangan berbasis gender yang menghalangi partisipasi perempuan -seperti pembagian kerja dan ruang berbasis gender dan tersedotnya perempuan dalam kerja domestik yang dianggap tak bernilai (unpaid care works) yang membatasi kehadiran dan pengaruh perempuan dalam pengambilan keputusan

Diskoneksi kebijakan  dan pelaksanaan:

1). Sejumlah daerah belum menurunkan Rencana Aksi Nasional  kedalam Rencana Aksi Daerah dan merasa perlu mengkaji lebih jauh substansi RAN P3AKS, karena RAN tersebut belum populer di sejumlah wilayah bahkan belum pernah didengar oleh masyarakat.   2). Kompleksitas Koordinasi Pusat dan Daerah. Selama ini tim koordinasi RAN P3AKS di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota masih belum optimal dalam melakukan koordinasi, pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan RAN guna menjamin sinergitas dan kesinambungan langkah-langkah perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik. Selain sinergi dan kerjasama dari semua pemangku kepentingan, tata kelola yang transparan dan berintegritas juga dibutuhkan dalam upaya pencegahan dan penanganan konflik, serta dalam pemberdayaan dan peningkatan partisipasi perempuan dan anak. Lemahnya implementasi RAN/RAD juga terlihat dari lemahnya integrasi RAN/ RAD ke dalam kebijakan perencanaan dan penganggaran baik di pusat maupun di daerah. Tanpa dukungan anggaran yang memadai, mempengaruhi efektivitas agenda perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam konflik sosial. Belum mapannya koordinasi pusat dan daerah ini juga membuat belum adanya pengukuran evaluasi dan monitoring yang dilakukan secara berkala dengan standar yang jelas.

Isu Lokalitas dan dukungan terhadap inisiatif komunitas:

RAN dan RAD diharapkan lebih responsive dengan konteks lokal. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tipologi konflik dan budaya di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu inisiatif-inisiatif dari komunitas khususnya inisiatif perempuan tidak sedikit yang menarik untuk membangun damai dan penting mendapat dukungan, termasuk mekanisme adat maupun inisiatif kultural yang tumbuh di berbagai wilayah. Tidak sedikit pendidikan damai, membangun ruang untuk kohesi sosial, pemulihan korban, dll. Kontribusi dan insiatif damai perempuan menjadi pilar penting ketika masyarakat menghadapi konflik, namun sayangnya, kontribusi ini tidak cukup direkognisi dalam proses formal penanggulangan konflik sosial

Pelibatan berbagai elemen masyarakat yang belum optimal

Dalam diskusi ditemukan permasalahan kurangnya pelibatan masyarakat sipil, padahal keikutsertaan pelbagai lembaga dan organisasi masyarakat sipil, khususnya organisasi perempuan di daerah dalam perumusan RAD menjadi kunci agar mendapatkan legitimasi dan komitmen berbagai pihak,  sehingga kebijakan tersebut dapat diterapkan secara optimal. Keikutsertaan seluruh pemangku kepentingan juga perlu dilakukan untuk evaluasi periodik RAN dan RAD.

Minimnya sosialisasi rutin dan internalisasi berbagai pihak

Untuk mengembangkan pemahaman bersama masyarakat dan berbagai lembaga pemerintah atas pilar-pilar P3AKS diperlukan upaya komunikasi rutin. Pemahaman dan internalisasi berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan agar terdapat komitmen yang mendukung pelaksanaan dengan misalnya kesediaan untuk mengalokasikan dana dan menjalankan program dalam RAD secara efektif dan sesuai tujuan.

Persoalan komitmen, kesinambungan dan kepemimpinan daerah

RAN telah diadopsi menjadi RAD yang diterima oleh pemerintah daerah di  10 provinsi (per 2019 provinsi yang memiliki RAD adalah Bengkulu, Lampung, Jatim, Kalbar, Maluku, NTB, NTT, Papua, Sulteng dan Sulut). Hal ini menunjukkan terbangunnya komitmen daerah yang melihat urgensi RAD bagi penanganan konflik sosial dengan menggunakan perspektif gender. Harus disadari, bahwa capaian ini belumlah optimal, terutama karena belum semua provinsi dan kabupaten kota di Indonesia memiliki rancangan RAD P3AKS. ementara itu, di daerah yang sudah memiliki rancangan RAD, pengetahuan dan komitmen pemerintah daerah dan masyarakat masih rendah untuk mendorong hadir dan dilaksanakannya rencana tersebut. Seperti misalnya terdapat kecurigaan bahwa RAD P3AKS mengancam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Perkembangan RAD P3AKS untuk dapat diterima dan memiliki komitmen untuk dilaksanakan dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan daerah. Beberapa daerah yang cukup efektif dan optimal dalam melakukan pembahasan dan pelaksanaan Rencana Aksi adalah Sulawesi Tengah yang memiliki kepemimpinan daerah yang peduli mengenai masalah pemulihan, penanganan dan pencegahan konflik yang berperspektif gender. Namun terdapat daerah lain di mana perkembangannya belum optimal, seperti di Maluku yang sudah memiliki RAD tapi belum proaktif bersinergi dengan organisasi masyarakat sipil sehingga dampaknya belum menyeluruh.  Faktor rotasi pemangku kebijakan yang bertugas menjalankan RAN/RAD di daerah juga berdampak pada efektivitas dan optimalisasi implementasi. Ditemukan bahwa seringkali tidak ada kontinuitas diskusi dan pemahaman substansi RAN, sehingga sering kali tidak ada kesinambungan kebijakan antara satu periode pemangku kepentingan dengan yang sebelum dan selanjutnya.

Dampak konflik yang beragam dan spesifik

Selain kajian spesifik wilayah, perlu juga melihat kekhasan dampak konflik bagi kelompok, komunitas hingga individu yang memiliki perbedaan kebutuhan dan kondisi. Dampak konflik terhadap perempuan dan anak berbeda-beda. Selama ini program penanganan konflik menganggap kebutuhan setiap individu/kelompok di setiap daerah adalah sama dan belum mempertimbangkan tingkat kerentanan dan kebutuhan spesifik setiap individu/kelompok. Sehingga diharapkan program penanganan konflik dirumuskan berdasarkan pada pendataan dan pemetaan tingkat kerentanan dan kebutuhan individu/kelompok. Salah satu kegagalan dalam menyusun strategi pencegahan konflik antara lain karena pemerintah daerah belum dapat mengidentifikasi tipologi konflik yang berpotensi muncul di wilayahnya.

3.2. Poin-Poin Kesimpulan Berdasarkan  Pilar

3.2.1. Pilar Pencegahan

Di bawah pilar pencegahan, terdapat pembahasan mengenai kurang optimalnya upaya peringatan dini (early warning system) yang diimplementasikan sejauh ini, khususnya dalam upaya memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak sebelum konflik ter-eskalasi. Untuk membuat sistem peringatan dini yang efektif, perlu untuk memperhatikan kearifan lokal untuk merumuskan pencegahan konflik yang lebih persuasif, serta melibatkan potensi perempuan dan anak yang ada di daerah. Sayangnya, belum semua daerah memiliki data mengenai kondisi dan potensi perempuan dan anak yang diperbaharui secara berkala.

3.2.2. Pilar Penanganan dan Pemulihan

Perlindungan fisik harus diperhatikan untuk menghentikan korban jiwa lebih banyak lagi dalam konflik sosial. Salah satu cara adalah dengan adanya rumah aman dengan fasilitas kesehatan mendukung yang lokasinya terjangkau bagi korban perempuan dan anak, serta adanya bantuan bagi korban untuk menjangkau rumah aman jika diperlukan. Dalam diskusi ditemukan bahwa belum tersedianya rumah aman, khususnya di tingkat desa, sebagai salah satu kendala dalam penanganan korban konflik sosial. Perlu juga perlindungan hukum bagi pendamping korban dan perempuan pembela HAM untuk memastikan bahwa mereka tidak dikriminalisasi dalam melakukan pekerjaan mereka.

Selain konflik berdampak pada kondisi fisik dan ekonomi, terdapat juga dampak psikologis dari konflik. Perempuan dan anak secara khusus terdampak dari konflik karena posisi dan peran mereka di masyarakat. Beban domestik dan fungsi sosial yang diberikan kepada perempuan menjadi bertambah dengan hilangnya anggota keluarga karena konflik. Anak-anak kehilangan kesempatan untuk menikmati masa tumbuh kembang dan mendapatkan pendidikan. Selain itu juga terdapat perasaan ketakutan atas kekerasan yang dapat terulang, kecemasan atas ketidakjelasan masa depan dan trauma yang membatasi aktivitas. Saat terjadi konflik sosial, perempuan dan anak mengalami tekanan psikis, ancaman dan intimidasi  sehingga mereka mengalami trauma. Oleh sebab itu, ke depannya RAN P3AKS diharapkan mampu untuk mengikutsertakan program untuk mengatasi dampak psikologis dari konflik.

3.2.3. Pilar Pemberdayaan dan Partisipasi

Meski sering sekali dipandang sebagai korban, perempuan dan anak perlu dipandang sebagai aktor yang dapat berperan dalam membangun damai dan pemulihan paska konflik. Kontribusi dan pengaruh perempuan dalam inisiatif damai ditunjukkan dari bukti-bukti di berbagai konteks konflik di Indonesia, seperti di Aceh dan Ambon. Sayangnya, kontribusi ini sering tersembunyi dan tidak cukup mendapatkan rekognisi dalam proses formal penanggulangan konflik. Pengakuan  ini merupakan dasar bagi pemberdayaan dan pemberian ruang partisipasi bagi perempuan dan anak dalam pengambilan keputusan yang berdampak bagi wilayah konflik dan paska konflik. Satu hal baru yang bisa diikutsertakan dalam RAN selanjutnya adalah perspektif hak anak, baik sebagai korban dalam konflik sosial yang membutuhkan pemenuhan kebutuhan serta hak untuk berpartisipasi secara substantif dalam proses perumusan kebijakan yang membuatnya lebih inklusif dan berjangka panjang.

Upaya pemberdayaan dan partisipasi perempuan untuk penciptaan perdamaian perlu mempertimbangkan pendekatan ekonomi. Pemberdayaan ekonomi memiliki peluang untuk tak hanya meningkatkan kesejahteraan, namun juga bisa menjadi ruang perjumpaan, membangun dialog, membuka sekat sosial dan pada gilirannya, berkontribusi dalam meredam konflik dan menciptakan perdamaian. Secara spesifik, pemberdayaan ekonomi perempuan akan mendorong relasi kuasa yang lebih adil di tingkat rumah tangga dan komunitas. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan risiko kekerasan dalam rumah tangga dan peningkatan penghasilan keluarga. Pemberdayaan ekonomi mendorong perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat dan membangun kohesi sosial dengan menggunakan kerjasama ekonomi sebagai alat komunikasi antar komunitas seperti yang dilakukan di Poso, Ambon. Keterkaitan antara pemberdayaan ekonomi dan partisipasi perempuan dalam penanggulangan konflik, menjadi bagian penting yang perlu terus diperkuat. 

3.3. Potensi Konflik Masa Datang

Ekstremisme Kekerasan dan Terorisme

Mengatasi potensi konflik di masa depan, penting untuk mewacanakan metode pencegahan dan penanganan radikalisme yang menjurus pada ekstremisme kekerasan dan terorisme. Ada kecenderungan wilayah konflik dan paska konflik rentan menjadi tempat berkembangnya ideologi radikal dan melahirkan kekerasan baru. Peraturan daerah diskriminatif yang masih ada di beberapa daerah justru dapat digunakan oleh kelompok radikal untuk menghasut kebencian antar kelompok yang dapat menempatkan perempuan dan anak sebagai korban. Implementasi ran P3AKS belum bisa menjadi alat pencegahan untuk kekerasan pada perempuan dalam kasus-kasus yang melibatkan penggunaan agama sebagai alat  kekuasaan

Isu penting lainnya yang perlu diangkat dalam penanganan ekstremisme kekerasan adalah pendekatan militeristik dalam penanganan terorisme, juga terhadap deportan maupun mantan kombatan yang kembali dari Suriah, selain anak-anak mantan teroris dan mantan narapidana teroris yang tidak terintegrasi dengan baik di masyarakat. Di tambah lagi, pendekatan berbasis gender belum menjadi paradigma dalam kebijakan kontra radikalisme dan ekstremisme kekerasan yang mengarah pada terorisme. Untuk itu, upaya untuk mendorong sensitivitas gender dapat dilakukan dengan memasukan upaya penanganan radikalisme kekerasan ke dalam RAN dan RAD P3AKS ke depannya.

Pandemi Covid-19 dan Bencana

Potensi konflik yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 dan bencana lainnya yang mampu meningkatkan potensi konflik sosial karena memburuknya perekonomian, ketidaksetaraan di masyarakat dan diskriminasi gender, terlihat dalam jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, beban kerja yang meningkat bagi perempuan dan pembelajaran jarak jauh melalui internet namun aksesnya masih terbatas. Diskusi mengenai pandemi menyoroti belum siapnya RAN P3AKS dalam menangani konflik sosial yang disebabkan oleh bencana dan kondisi darurat. Pandemi Covid-19 diharapkan menjadi kesempatan untuk mengikutsertakan penanganan krisis dalam konflik sosial ke Rencana Aksi di masa datang. Hal ini dapat dilakukan dengan menekankan peran yang dapat dilakukan perempuan selama krisis dan keadaan darurat, pelibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan di semua tingkatan, serta mendorong perlindungan hak asasi manusia, hak-hak perempuan dan anak.

Perkembangan Teknologi dan Informasi

Kajian mengenai perkembangan teknologi dan informasi disoroti juga sebagai ruang potensi konflik baru, khususnya mengenai penyebaran informasi tidak benar (hoaks), intoleransi dan radikalisme. Meningkatnya akses masyarakat terhadap informasi, menempatkan jurnalisme menjadi sarana penting dalam membangun narasi perdamaian dan kesetaraan gender yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang konflik, peran perempuan, dan kesetaraan. Dalam pembahasan terlihat bahwa perlu diadakan pengarusutamaan gender dan perdamaian yang melibatkan jurnalis agar media punya kapasitas jurnalisme damai dan sensitif terhadap isu gender.

4. Rekomendasi

Bagian rekomendasi ini terbagi menjadi tiga bagian besar, yakni Rekomendasi Umum, Rekomendasi Isu-isu Tematik dan Rekomendasi Berbasis Pilar.

0
Kirim Masukanmu disinix

4.1. Rekomendasi Umum

A.     Pemetaan yang cermat dan berbasis data

  • Memetakan pola konflik dan metamorfosisnya, untuk melihat pola baru, pergeseran yang terjadi dan keterhubungan antar konflik masa lalu dan yang terjadi saat ini.
  • Membuat data dan analisa komprehensif tentang isu, akar dan pemicu konflik serta dampaknya terutama terhadap kelompok rentan, utamanya perempuan, termasuk melihat dampaknya di ranah privat
  • Membuat indikator wilayah konflik, paska konflik dan wilayah rentan konflik
  • Membuat skema pencegahan, perlindungan, pemberdayaan dan pemulihan korban dengan indikator yang berkeadilan gender
  • Membuat data kebutuhan korban konflik dengan menimbang interseksi atas kelompok rentan diskriminasi
  • Hindari kesalahan diagnosis yang berdampak pada kekeliruan prognosis yang berdampak pada program penanggulangan yang tidak efektif.

B.     Membangun arsitektur penanggulangan konflik yang komprehensif dan memperluas makna keamanan

  • Mengedepankan prinsip HAM dan keadilan gender khususnya dalam merumuskan substansi kebijakan dan pelaksanaan penanggulangan konflik
  • Meminimalisir keterlibatan militer dan mencegah pendekatan militeristik yang represif dalam penanganan konflik yang cenderung berdampak multi generasi
  • Mengedepankan perlindungan atas kehidupan, di atas segalanya, di tengah  kebutuhan akan state security
  • Perlu pendekatan interdisiplin ilmu dalam menanggulangi konflik, termasuk dalam konteks terorisme.  Paradigma keamanan saja tidak cukup, namun harus melihat interseksinya dengan isu-isu lain
  • Pendekatan pembangunan yang harus berorientasi  untuk meningkatkan resiliensi dan partisipasi
  • Memasukkan kurikulum gender dalam pendidikan sektor keamanan termasuk memastikan afirmasi perempuan dapat duduk dalam posisi strategis pada institusi pertahanan dan keamanan
  • Menumbuhkan keterlibatan dan kepemimpinan perempuan dalam ruang-ruang strategis dan berbagai pilar pilar dalam RAN P3AKS dan dalam arsitektur penanggulangan konflik

C.     Menumbuhkan inisiatif perdamaian berbasis komunitas  dengan proses yang mengakar dan inklusif

  • Memahami keunikan konteks lokal dan merawat inisiatif-inisiatif maupun tradisi berharga untuk perdamaian yang hidup di masyarakat 
  • Sosialisasi kebijakan hingga ke tingkat desa, mengingat konflik semakin terbuka di desa, serta memperkuat kemampuan aktor-aktor masyarakat khususnya di desa untuk menjadi agen perdamaian
  • Pelibatan elemen masyarakat, utamanya perempuan, anak muda termasuk namun tapi tidak terbatas kelompok-kelompok rentan diskriminasi
  • Pengakuan akan kontribusi baik aktor negara maupun non negara dalam upaya-upaya membangun perdamaian
  • Mencari solusi damai yang tidak segregatif dengan  memisahkan masyarakat yang menghalangi interaksi dan perdamaian yang berkelanjutan

D.     Menciptakan penanganan dan birokrasi yang responsif, sinergis dan peka konteks

  • Mempertimbangkan konteks daerah yang sangat beragam, sebagai pijakan dalam perumusan RAN ke depan, baik berbagai konteks konflik yang terjadi, isu dan relasi  sosial, politik dan budaya, serta melihat implikasinya pada kehidupan perempuan dan anak
  • Memastikan interkoneksi  antar kebijakan, tidak kontradiktif  dan konsisten  dari nasional hingga ke daerah tak terkecuali hingga tingkat desa
  • Memastikan pelaksanaan RAN dan RAD dilakukan secara komprehensif, sinergis antar kementerian dan seluruh jenjang birokrasi hingga ke desa dengan pelibatan masyarakat sipil dan pihak-pihak strategis lainnya, termasuk perempuan untuk membangun rasa kepemilikan dan komitmen kolektif
  • Memastikan peran kepemimpinan daerah berjalan dengan efektif, termasuk memastikan keberlanjutan pengetahuan dan kebijakan akibat sistem rotasi pemangku tanggung jawab dalam birokrasi
  • Memastikan RAD yang responsif dan antisipatif pada konflik, yang berlapis dengan isu terorisme, bencana hingga situasi pandemik

E.     Menumbuhkan kepemimpinan perempuan dan keterlibatan yang strategis

  • Mengoptimalkan peran-peran kepemimpinan dan keterlibatan perempuan dengan “politic of presence” sebagai aktor perdamaian dengan peran yang tidak meresikokan keamanan, integritas hingga beban berlipat karena peran gendernya.
  • Memperluas ruang pengakuan atas peran dan kepemimpinan perempuan yang tidak terbatas di ruang formal, tetapi juga pengakuan di ruang informal, kultural, bahkan peran perempuan di ruang domestik  untuk melindungi kehidupan, bertahan dalam krisis akibat konflik dan mentransmisikan perdamaian pada keluarganya
  • Melibatkan perempuan khususnya perempuan korban dengan memastikan keterjangkauan mereka atas jarak, akses informasi teknologi, bahasa, disabilitas, juga sensitif pada isu relasi kuasa karena gender maupun kelas dalam masing-masing komunitas, juga kerentanan karena identitas lainnya.
  • Pengakuan terhadap kerja-kerja perempuan pembela HAM serta perlindungan dari kriminalisasi dan kerentanan lainnya.

F.     Perlindungan pada kelompok rentan diskriminasi dan korban kekerasan

  • Perempuan pembela HAM dari kriminalisasi, stigmatisasi hingga resiko keamanan nyawa
  • Perempuan korban kekerasan khususnya kekerasan seksual akibat konflik termasuk kekerasan di ranah komunitas maupun ranah domestik yang cenderung berpindah lokus dan meningkat paska konflik
  • Kelompok disabilitas yang kerap tidak dijadikan prioritas saat evakuasi baik saat konflik maupun bencana
  • Kelompok “minoritas” agama/kepercayaan, termasuk yang menjadi korban penyesatan agama, yang kehilangan hak dasar hingga menjadi pengungsi
  • Kelompok dengan orientasi seksual non-hetero, yang menjadi sasaran politisasi dan persekusi

G.     Membangun kesadaran kritis di semua ranah

  • Pendidikan multi jenjang sejak dari PAUD hingga perguruan tinggi tentang pluralisme, toleransi dan perdamaian termasuk konstruksi berkeadilan gender untuk mengikis maskulinitas yang tidak sehat (toxic masculinity) yang berkontribusi memicu konflik dan kekerasan
  • Memperkuat daya tahan keluarga dari pengaruh konservatisme hingga terorisme
  • Memperluas jurnalisme warga (citizen journalism) dan jurnalisme damai (peace jurnalisme) untuk mencegah ujaran kebencian yang memicu maupun mempertahankan konflik destruktif
  • Penyadaran literasi digital, termasuk pada perempuan, agar kritis untuk memastikan kebenaran informasi (bukan hoaks), terhindar dari kekerasan berbasis siber, dan dapat menggunakan dunia siber untuk membangun perdamaian dan peradaban baru yang keadilan gender

4.2         Rekomendasi Isu-isu Tematik

A.     Penanggulangan ekstremisme berkekerasan/terorisme dengan menggunakan perspektif HAM-perempuan

  • Menelusuri akar persoalan baik politik, sosial, ekonomi, teologis hingga persoalan psikologis, di balik mereka yang terlibat dalam gerakan ekstrimisme khususnya di balik para pelaku terorisme, tak terkecuali dimensi dan konstruksi maskulinitasnya
  • Analisis baru tentang interseksi ekstrimisme dan konflik sangat bermanfaat untuk membaca akar-akar baru konflik, kedukaan (grievances) yang perlu direspon sebelum berubah jadi konflik atau ekstremisme
  • Memetakan secara tepat persepsi kelompok-kelompok radikal terhadap posisi negara dan melihat kelompok yang masih dipercaya khususnya elemen non-pemerintah dengan penekanan pada penciptaan ruang-ruang dialog bersama antar warga.
  • Memastikan penanggulangan yang dilakukan mengedepankan perlindungan atas kehidupan, mengedepankan kemanusiaan dan efek jangka panjang
  • Pendekatan keamanan insani dalam semua lapis penanggulangan terorisme tanpa mengesampingkan penindakan hukum bagi pelaku kekerasan
  • Pelaku maupun korban harus diperlakukan sebagai warga negara yang tidak bisa dihilangkan hak dasarnya, atas perlakuan yang bermartabat baik di hadapan negara/hukum maupun di masyarakat
  • Perlu ada koordinasi antar kelembagaan dalam penanganan terorisme, termasuk bersinergi dengan organisasi masyarakat sipil. Namun forum-forum masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah pusat dan daerah perlu diperjelas tugas dan fungsinya agar tidak tumpang tindih, karenanya penting memetakan kapasitas masyarakat sipil agar ada  sinergi yang optimal
  • Memastikan ada pemulihan komunal selain pemulihan individual, menghilangkan stigmatisasi dengan penerimaan, termasuk dukungan komunal atas pengasuhan alternatif pada anak-anak, juga dukungan dari keluarga (family support system)
  • Memastikan ada rehabilitasi dan integrasi bahkan langkah ke depan (paska tindakan terhadap terorisme), karena  adanya “dosa kolektif” yang harus ditanggung berbagai pihak bila masalah terorisme tidak ditangani melalui penghargaan hak asasi
  • Memperkenalkan rujukan keagamaan yang moderat dan adil gender
  • Memastikan lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang memuat nilai perdamaian, termasuk dalam pendidikan keluarga
  • Memastikan adanya keterkaitan antara kebijakan pencegahan ekstremisme kekerasan (preventing violent extremism – PVE) dengan RAN P3AKS agar upaya mendorong pengarusutamaan gender dalam PVE bisa dilakukan dengan maksimal, ini karena RAN P3AKS telah memiliki infrastruktur di tingkat provinsi
  • Kebijakan terhadap tindak pidana terorisme pada UU No. 5 tahun 2018 dan turunannya harus mengintegrasikan perspektif gender dengan kuat
  • Pemerintah perlu memastikan korban konflik, utamanya perempuan, bisa mendapatkan pemulihan komprehensif dan berjangka panjang, baik pemulihan sosial, ekonomi, maupun psikis yang bersifat individual  maupun pemulihan kolektif bersama komunitasnya
  • Penguatan keamanan siber pada aktor-aktor yang bekerja di isu PVE sangat penting karena aktivitas radikalisasi di dunia maya meningkat pesat di masa pandemi, serta kemungkinan salah satu strategi untuk melumpuhkan situs-situs yang kontra pada gerakan ekstrimis sedang dilancarkan
  • Memantau deportan dan returni untuk cegah aksi-aksi teror kembali, maka mewaspadai daerah yang pernah mengalami konflik terbuka atau daerah rawan konflik
  • Memastikan inklusi pada pemimpin perempuan dan organisasi perempuan akan berpotensi untuk menciptakan perdamaian jangka panjang, baik di ranah publik maupun domestik, antara lain meningkatkan peran keluarga untuk mencegah radikalisme, termasuk  pelibatan istri dan keluarga dalam mendukung keterlepasan dari kelompok radikal (disengagement)
  • Review sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan perempuan dan anak dalam konflik sosial — antara lain kebijakan  UU no 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Perpres no 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, serta Permenko Kesra no 8 tahun 2014 tentang Kelompok Kerja Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial — tidak mengatur secara spesifik isu terorisme. Selain itu  UU no 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme yang tidak mencantumkan kata perempuan, gender, kecuali dalam pencegahan

B.     Konflik Sumber Daya Alam (SDA)

  • Memasukkan konflik SDA kedalam RAN P3AKS tahap selanjutnya, karena konflik SDA sulit dijangkau dengan RAN P3AKS
  • Mencari solusi atas konflik SDA yang cenderung deadlock penyelesaiannya
  • Audit perusahaan dan penegakan hukum
  • Memastikan prinsip penjuru (guiding principle) dalam kaitan berjalannya bisnis yang menghargai HAM dapat dijalankan melalui pelaksanaan RAN tentang bisnis dan HAM

C.     Konteks Pandemi dan Bencana

  • Menutup peluang bagi tumbuhnya konflik sosial dan radikalisme yang memanfaatkan situasi pandemi dan bencana
  • Memastikan bantuan dalam penanganan pandemi dan bencana terdistribusi dengan adil untuk mencegah munculnya konflik
  • Memastikan pembagian bantuan penanganan pandemi dan bencana yang adil gender, tidak hanya untuk laki-laki yang diposisikan sebagai kepala keluarga
  • Hentikan kekerasan berbasis gender serta meningkatnya kerentanan perempuan karena  beban perempuan bertambah
  • Prioritaskan penanganan korban konflik yang juga terkena dampak pandemi karena mereka belum tertangani sebagai korban konflik namun sudah menjadi korban lanjutan pandemi

4.2. Rekomendasi Berbasis Pilar

A.     Rekomendasi untuk Program Pencegahan

  • Kajian tipologi konflik sebagai pijakan untuk mendesain pencegahan yang efektif dengan melihat kerentanan, kebutuhan dan kekhususan yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah lain
  • Pemberdayaan bagi perempuan dan anak agar dapat berperan aktif dalam membangun kerukunan dan toleransi, antara lain dengan pendidikan yang menghargai perbedaan baik dalam pendidikan formal maupun informal, termasuk pendidikan tentang adil gender dengan menyoal maskulinitas yang memicu kekerasan
  • Membuat pendidikan bagi media untuk membuat pemberitaan yang merawat perdamaian dan berperspektif gender
  • Peningkatan daya tawar perempuan salah satunya kemampuan ekonomi bagi perempuan untuk membangun kohesi sosial
  • Dukungan pemulihan psikis untuk mencegah korban tidak menjadi pelaku dan memicu keberulangan konflik
  • Membuat mekanisme partisipatoris yang menjamin keikutsertaan perempuan dan anak dalam pengambilan kebijakan, termasuk kelompok muda, disabilitas, juga anak-anak, dalam pencegahan konflik termasuk radikalisme dengan kekerasan
  • Memastikan ada memorialisasi di wilayah-wilayah rentan konflik, khususnya paska-konflik sebagai simbol pemulihan korban, hak kebenaran  dan mencegah keberulangan
  • Mendorong parlemen untuk membuat kajian atas UU P3AKS dan RAN terkait, serta dukungan untuk peningkatan anggaran agar dapat memenuhi kebutuhan praktis dan strategis terkait P3AKS

B.     Rekomendasi untuk Program Penanganan

  • Memastikan Tim Terpadu Kemendagri melakukan sosialisasi dan internalisasi tentang RAN-P2AKS, punya kemampuan mediasi dan punya keberpihakan terhadap perempuan pembela HAM
  • Memberi perlindungan hukum bagi pendamping korban dan perempuan pembela HAM untuk memastikan bahwa mereka tidak terkriminalisasi dalam melakukan pekerjaan mereka.
  • Menjamin perempuan dapat mengakses dukungan penanganan tanpa terhalang oleh persyaratan karena jenis pekerjaan yang dimiliki
  • Memastikan dukungan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan, baik kebutuhan dasar seperti kesehatan, lapangan kerja yang tepat, serta peningkatan kemampuan untuk berorganisasi dan menjadi juru damai
  • Penguatan kelembagaan termasuk lembaga sipil dan organisasi masyarakat, organisasi keagamaan dengan memastikan prinsip imparsialitas, mediasi, kemampuan pembangunan perdamaian, dan utamanya paham substansi RAN P3AKS
  • Perlu adanya rumah aman di setiap desa atau setidaknya bantuan transportasi yang mampu membawa korban konflik, khususnya perempuan dan anak, ke rumah aman terdekat
  • Penanganan untuk korban konflik dan paska konflik, khususnya perempuan dan anak, tidak hanya dari sisi pemenuhan kebutuhan fisik dan ekonomi, namun juga psikis. Termasuk memastikan data korban, data disabilitas, kelompok minoritas dan kelompok rentan diskriminasi lainnya
  • Memberi pemahaman sensitif gender dalam penanganan konflik bagi aktor keamanan, serta pengetahuan atas UU P3AKS dan RAN, serta RAD turunannya agar dapat bekerja secara sinergis dalam membangun perdamaian

C.     Rekomendasi untuk Program Pemberdayaan dan Partisipasi

  • Mengadopsi RAN menjadi RAD yang dilembagakan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran yang dikawal melalui proses afirmasi perempuan dalam musrenbang , penguatan kapasitas bagi perempuan dan anak, sebagai strategi untuk memastikan partisipasi yang bermakna di semua tingkatan.
  • Mendorong adanya panutan (role model) dan agensi perempuan dalam pemberdayaan, partisipasi dan membangun kerekatan untuk perdamaian melalui kanal-kanal yang mengakar di komunitas baik melalui keberdayaan ekonomi sebagai kekuatan negosiasi maupun ruang budaya yang mudah dijangkau perempuan akar rumput
  • Mendorong keterlibatan laki-laki dalam mendorong kesetaraan dan keadilan gender, karena mensyaratkan proses dialog untuk menata ulang relasi yang selama ini tidak adil. Sebab, penyadaran kritis tentang adil gender adalah urusan bersama
  • Peningkatan kapasitas mediasi konflik dan pembangunan perdamaian yang sensitif gender yang tertulis di dalam kebijakan (mulai dari Perpres, Pergub, Perbup dan seterusnya) sehingga memiliki kekuatan hukum, kemampuan implementasi dan komitmen pendanaan
  • Pentingnya memasukkan perspektif hak anak, baik pemenuhan hak sebagai korban, perlindungan hingga pengasuhan termasuk keterlibatan substantif sesuai dengan tumbuh kembang anak
  • Perlu adanya kriteria/indikator keterlibatan perempuan dan anak dalam upaya-upaya  perdamaian, resolusi konflik dan mekanisme perjanjian perdamaian, serta ketersediaan informasi secara berkala mengenai potensi perempuan dan anak di berbagai tingkatan (nasional, provinsi, kabupaten kota, kecamatan desa) dan memastikan peningkatan partisipasi dan keterwakilan perempuan  di setiap level pengambilan keputusan terkait konflik, termasuk pelibatan anak pada ruang-ruang yang tepat.
  • Meningkatkan kapasitas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk menangani perempuan dan anak yang menjadi korban konflik
Subscribe
Notify of
82 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat semua tanggapan