01
RUANG
Ruang Review Digital CEDAW
Pencegahan Konflik dan Keterlibatan Perempuan
Sentiela Octaviana
Short biography moderator 01
Suraiya Kamaruzzaman
Short biography moderator 01
- Deskripsi
Pencegahan konflik memiliki cakupan yang sangat luas mulai segala bentuk kegiatan dan tindakan untuk mengenali kerentanan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang berpotensi menimbulkan persetegangan dan konflik di masyarakat, mencegah terjadinya kekerasan sampai pada menakar kapasitas masyarakat dalam mengelolah kerentanan sehingga risiko konflik bisa diprediksi. Jika risiko konflik bisa diprediksi maka tindakan mitigasi bisa disiapkan lebih awal. Ketimpangan gender dan kekerasan berbasis gender perlu menjadi bagian dari kerentanan konflik di masyarakat. Jika tingkat kekerasan berbasis gendernya tinggi pada situasi normal, maka pada masa konflik situasi menjadi memburuk karena semua aspek berjalan abnormal.
Pencegahan juga mencakup area penyiapan early warning system di masyarakat, dimana keterlibatan perempuan sangat penting dalam penyiapan, pelaksanaan dan monitoring. Perempuan terbukti memberikan detil informasi tentang perubahan di komunitas, termasuk kepekaan terhadap kelompok-kelompok yang selama ini terabaikan dalam struktur sosial. Dalam jangka panjang, tindakan pencegahan juga mencakup upaya institutionalisasi perencanaan perubahan di sebuah komunitas dengan menggunakan pendekatan peka perdamaian dan kesetaraan gender, sehingga rencana membangun perdamaian yang lebih berkelanjutan terencana dengan baik.
Perbaikan infrastruktur yang ramah kepada perempuan dan berpotensi untuk memberikan ruang interaksi yang sehat dengan yang berbeda berfungsi, dimana pertemuan antar generasi terjadi, dan ruang ekspresi anak muda terwadahi.
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dibahas dalam melihat keterlibatan perempuan dalam pencegahan konflik diantaranya adalah sebagaimana di bawah ini.
- Pertanyaan Panduan
1. Apa saja dampak konflik sosial yang pernah Anda alami? Secara khusus bagaimana dampak konflik pada perempuan dan anak-anak (termasuk remaja) serta kelompok rentan lainnya?
2. Bagaimana upaya pencegahan konflik dilakukan di tempat Anda?
- Apa saja kerentanan sosial, ekonomi dan politik yang Anda analisis berpotensi menyebabkan konflik di tempat Anda? Sejauh mana kapasitas masyarakat dapat mengelola kerentanan yang ada?
- Bagaimana keterlibatan perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya dalam upaya-upaya pencegahan konflik di tempat Anda?
- Bagaimana anda melihat sistem pencegahan konflik adaptif terhadap perkembangan radikalisme dan kekerasan extremisme?
- Bagaimana Anda menilai kesesuaian antara subtansi pencegahan konflik dengan kebutuhan di komunitas Anda?
- Bagaimana koordinasi yang terjalin antar pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan konflik?
- Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dan/atau komunitas untuk mendorong perubahan norma, persepsi dan pranata sosial yang mengarah pada perlindungan perempuan dan anak?
- Apakah ruang-ruang perjumpaan antara yang berbeda semakin banyak muncul di kota Anda sehingga masyarakat lebih sering berinteraksi?
- Bagaimana pemanfaatan dana desa dalam pencegahan konflik dan mendorong keterlibatan perempuan? Apakah ada potensi sumber-sumber pendanaan untuk mendukung program pencegahan konflik?
- Apa isu-isu krusial yang perlu diperhatikan dalam pencegahan konflik sensitif gender?
- Diskusi & Tanggapan
RANGKUMAN DISKUSI MINGGU KETIGA: PENCEGAHAN KONFLIK DAN KETERLIBATAN PEREMPUAN
· Dampak psikologis konflik terhadap anak adalah perasaan ketakutan dan kecemasan. Rasa takut dan cemas ini mempengaruhi kebebasan mereka dalam menjalankan aktifitas keseharian mereka, seperti bermain dan belajar. Terutama ketika sosok yang dianggap pelindung bagi mereka, bapak, tidak berada di dekat mereka. Narasi konflik yang penuh kekerasan yang diceritakan orang dewasa memperparah trauma pada anak-anak.
· Untuk mencegah terjadi konflik seperti di Talang Sari, pemda Lampung Timur melakukan upaya persuasive, seperti memfasilitasi forum dialog pemuka agama, menyisipkan materi kerukunan sosial dan kemanusia pada forum-forum pengajian, dan mengikutsertakan masyarakat untuk mengawasi lingkungan di bawah binaan bhabinkamtibmas. Selain keagamaan, isu yang memicu konflik di Lampung Timur yang perlu menjadi perhatian adalah perbedaan pilihan politik. Konflik terus berlanjut ketika pemilu/pilkada berakhir dan berdampak pada munculnya kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu dan makin mempertajam kesenjangan ekonomi dan sosial. Bahkan muncul dugaan pemanfaatan dana desa pada masa pandemi Covid-19 ini hanya untuk kelompok tertentu.
· Terkait dengan konflik yang melibatkan mahasiswa Papua di Malang, selain pemprov Papua, universitas melalui program ADIK (Afirmasi Pendidikan Tinggi) memberikan pembekalan untuk mahasiswa Papua yang kuliah di Malang pada awal masa studi. Walikota dan wawali Malang juga mengundang perwakilan mahasiswa Papua untuk beramah tamah dan berdialog. Langkah yang dilakukan Pemkot ini cukup efektif meredam konflik yang melibatkan mahasiswa Papua. Sekarang kondisi di Malang relative tenang. Aksi demonstrasi yang biasa dilakukan mahasiswa Papua pun dilakukan secara tertib, damai, dan menerapkan protokol kesehatan covid-19.
· Makin banyaknya kelompok muslim kelas menengah perkotaan yang mengikuti trend gaya hidup Syariah di Malang Raya menjadi salah satu penyebab menguatnya segregasi dan lunturnya keguyuban lintas kelompok yang berbeda identitas agama. Trend gaya hidup Syariah juga mulai masuk ke perdesaan, namun segregasi masih belum tampak. Beberapa pihak sudah mengupayakan keberadaan ruang-ruang perjumpaan, salah satunya FKUB di Malang yang mendapat dukungan dari pemerintah kota dan kabupaten. Salah satu desa di Batu berhasil dicanangkan sebagai desa toleransi atau desa sadar kerukunan beragama. Pemuda juga mulai bergerak menciptakan ruang-ruang perjumpaan namun masih terbatas. Masyarakat memberikan respon positif terhadap keberadaan ruang perjumpaan, walaupun partisipasi masyarakat dalam ruang tersebut masih minim. Kelompok yang hadir beragam namun tidak memiliki perbedaan yang mencolok.
· Sejak 2017, di Malang Raya sudah ada 7 (tujuh) desa/kampung yang dideklarasikan sebagai desa/kampung damai. Beberapa desa tersebut cukup aktif dalam upaya inklusi sosial dan pemberdayaan perempuan, hingga merespon isu radikalisme, misalnya dengan mambangun sistem deteksi dini. Keberadaan desa damai yang aktif juga berhasil menumbuhkan rasa toleransi antar warganya dan pengembangan ekonomi keluarga melalui koperasi.
· Segregasi berdasarkan identitas keagamaan dan pengaruh paham radikal juga berdampak pada interaksi siswa di sekolah, termasuk siswa di sekolah negeri. Siswa menjadi tidak terbiasa berteman dengan siswa berlatar belakang agama yang berbeda. Guru juga mulai khawatir adanya indikasi radikalisme muncul di kalangan siswa karena terdapat siswa yang menolak mengikuti upacara dan pelajaran kewarganegaraan. Bahkan masih ada sekolah negeri yang belum berhasil memberikan hak siswa dengan agama minoritas, yaitu menyediakan pendidik yang seagama untuk kegiatan keagamaan siswanya.
· Program pemberdayaan perempuan yang dilakukan NGO di Malang,salah satunya program yang diinisiasi oleh RUMPUN Malang, yaitu Koalisi Perempuan untuk Kepemimpinan (KPuK). Tujuan KPuK adalah mendorong perempuan untuk aktif melakukan perubahan sosial. KPuK belum secara spesifik ditujukan untuk pencegahan konflik, namun melalui program ini ada upaya melakukan transformasi aktor, yaitu perempuan. Harapannya perempuan punya kapasitas untuk menjadi aktor perubahan sosial, termasuk menjadi aktor dalam kerja-kerja terkait pencegahan konflik, merespon dan menyelesaikan konflik.
· Kerjasama lembaga think tank dan NGO dengan pemerintah daerah sudah dilakukan pada level provinsi, ada Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial yang mendapat penghargaan. Timdu Jatim juga sudah melakukan identifikasi potensi konflik. Koordinasi belum tampak di level kota/kebupaten, di mana konflik sosial biasa terjadi, sehingga beberapa program pelatihan dialog dan mediasi yang pernah diinisiasi NGO/lembaga think tank kurang diapresiasi oleh pemkot/pemkab. keterlibatan NGO/lembaga think tank di level kota/kabupaten sangat penting untuk membuat kebijakan yang memadai dalam mencegah dan merespon konflik. Walaupun terdapat SOP penanganan konflik sosial, kebijakan spesifik terkait pencegahan konflik di Malang Raya belum ada. Padahal Kabupaten Malang dan Kota Batu adalah wilayah rentan munculnya konflik pertanahan.
· Koordinasi pemprov dan pemkot/pemkab masih kurang, khususnya pada situasi pandemic Covid-19. Selain makin tinggi atau luasnya transmisi virus di provinsi Jatim, ketegangan juga muncul antara gubernur dan walikota Surabaya (keduanya pemimpin perempuan) terkait kewenangan keduanya dalam mengatur wilayah dan warganya dalam penanganan Covid-19.
Beberapa poin yang dapat dikembangkan menjadi rekomendasi
· Kemajuan teknologi selaras dengan meningkatnya akses masyarakat terhadap informasi, sehingga journalisme menjadi sarana yang tepat untuk membangun narasi-narasi perdamaian dan kesetaraan gender yang nantinya akan dikonsumsi oleh masyarakat dan sedikit banyak mampu mempengaruhi persepsi masyarakat tentang konflik, peran perempuan, dan kesetaraan. Sehingga, perlu diadakan pelatihan pengarusutamaan gender dan perdamaian yang melibatkan jurnalis agar media punya kapasitas peace journalism dan sensitive terhadap isu gender.
· Selain sinergi dan kerjasama dari semua pemangku kepentingan, tata kelola yang transparan dan berintegritas juga dibutuhkan dalam upaya pencegahan konflik. komitmen setiap pemangku kepentingan harus didasarkan pada tujuan yang substantif. Setiap pemangku kepentingan menjamin keterlibatan perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lain dalam proses ini. Oleh karena itu, kapasitas untuk mengidentifikasi konflik serta dampaknya terhadap kelompok rentan menjadi sangat dibutuhkan.
· Berkaca pada ketegangan kedua pemimpin perempuan di Jatim, mengingatkan kita untuk melakukan refleksi terhadap apa yang dibutuhkan dan ditekankan dari kepemimpinan perempuan pada semua aspek dan level terutama dalam situasi krisis dan konflik.
SUMMARY DISKUSI MINGGU KEDUA: PENCEGAHAN KONFLIK DAN KETERLIBATAN PEREMPUAN
Summary diskusi di minggu kedua, merupakan satu kesatuan dari summary dari diskusi di minggu pertama.
Beberapa point penting dari diskusi minggu ke dua adalah:
Keterlibatan perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya dalam upaya-upaya pencegahan konflik:
Perempuan merupakan aktor dan inisiator penggerak perdamaian dalam situasi darurat pengungsian, konflik bersenjata, kerusuhan sosial dan bencana alam.Perempuan menjalankan peran domestik dan fungsi sosial, diantaranya memastikan terpenuhi kebutuhan domestik; pendidikan anak; melakukan asesmen kebutuhan yang esensial atas keberadaan dalam situasi darurat pengungsian, konflik bersenjata, kerusuhan sosial dan bencana alam serta menyampaikan secara persuasif dan asertif dalam forum-forum mediasi dan rekonsoliasi tentang kebutuan yang responsif pada upaya pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan dan anak; serta membangun relasi dan komunikasi perempuan lintas batas untuk bergerak bersama dalam satu tujuan rekonsiliasi perdamaianYang mendorong perempuan bergerak dalam menyelesaikan konflik, karena ada kebutuhan untuk melakukan pengasuhan dan memastikan masa depan anak terlindungi.Kekuatan yang dimiliki perempuan adalah kemampuan berkomunikasi secara persuasif, memiliki kelenturan dalam berkomunikasi dan berelasi lintas batas. Perempuan akan berusaha merintis dan menjembatani berbagai kepentingan dan melakukan proses mediasi secara langsung dan tidak langsung, antara berbagai kelompok yang bertikai, terutama di level grassroot.Tantangan perempuan : tidak memiliki posisi tawar yang setara, pada saat relasi telah mulai terhubung antara berbagai kelompok terkait dengan lebih lancar karena proses komunikasi yang dibangun perempuan, maka peran dan posisi sebagai juru damai diambil alih oleh lelaki untuk melanjutkan dalam penyelesaian resolusi konflik, karena ada anggapan beranggapan bahwa laki-laki lebih mampu dalam menyelesaikan (budaya patriarkhi) , perempuan juga terbatasi karena fungsi dan peran domestik sebagai ibu rumah tangga, atau bahkan sebagian sebagai kepala rumah tangga, serta alasan keagaamaan tertentu. Hal ini juga dipengaruhi oleh pemahaman atas beredarnya dan keberadaan hadis hadis misoginis yang kontra produktif bagi perkembangan dan keberdayaan perempuan.Early warning system, khususnya dalam upaya memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak sampai saat ini masih belum dilakukan secara optimal.Data terkait potensi perempuan dan anak, khususnya di wilayah-wilayah rawan konflik masih belum sepenuhnya tertata dengan baik.Di daerah konflik (Ambon, Poso), banyak anak-anak kombatan. Ketika direkrut sebagai combatan tidak paham atau tidak miliki posisi tawar untuk mengatakan tidak, kehilangan waktu untuk bermain dan belajar secara formal. Pemerintah belum memiliki program rehabilitasi secara spesifik agar anak-anak kombatan anak (yang memerlukan perlindungan dan perlindungan khusus) dapat berbenah diri untuk dapat melanjutkan hidup, tumbuh kembang secara normal. Masyarakat merespon dengan cara yang dipahami dan diyakini kebenarannya oleh mereka, misalnya dengan mengganti nama, atau bahkan mengganti silsilah keberadaan anak anak dengan alasan keamanan. Perlu melihat peran RAN P3AKS dan RAN Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial dalam upaya pencegahan konflik.
Terkait isu radikalisme dan ekstremisme:
Perempuan dan perempuan muda rentan menjadi korban dalam konflik dan terorisme, karena keterbatasan dalam mengakses informasi sehingga perempuan muda lebih mudah didoktrin dengan topeng ajaran agama.Paham radikalisme dan ekstrimisme dapat bersumber dari keluarga sendiri (keluarga inti/keluarga besar), atau diakses dari luar rumah melalui medsos, dimana medsos dengan konten radikalisme sangat mudah diakses. Selain penggunaan medsos, masalah Intoleransi dan maraknya prilaku penyebaran berita bohong (HOAKS) dan ujaran kebencianjuga berpotensi munculnya prilaku radikal dan bahkan tindakan-tindakan terror. Proses deradikalisasi yang dilaksanakan oleh Lembaga dan pemerintah yang miliki program kontra radikalisme dan terorisme yang melibatkan anak mantan napiter dalam mengkomunikasikan kontra radikalisme, tanpa persiapan dan kesiapan yang matang berpotensi menimbulkan masalah baru, sehingga perlu menghentikan pelibatan anaknya dalam aktifitas kontra radikalisme dan deradikalisasi supaya tumbuh kembangnya tidak terganggu.Kearifan lokal merupakan media paling ampuh untuk menjaga perdamaian dan merekatkan kembali rasa dan kelekatan perdamaian, meskipun kearifan lokal masih jarang melibatkan perempuan seperti Pencerita Hikayat, Penari Tarian Saman dan Guel dari Gayo dengan jenis kelamin lelaki. Contoh kegiatan menggunakan system nilai budaya dan pendekatan agama Islam untuk penyiapan modul materi tentang konflik di Aceh (dimulai dengan menggunakan petatah petitih dalam Bahasa Aceh yang mengatur tentang upaya pencegahan konflik yang diturunkan dalam bahasa sederhana dan ringkas, dilanjutkan dengan menjelaskan aturan yang ada dalam kitab suci Al Qur’an yang mengatur tentang konflik, dan terakhir ajakan menghindari konflik dalam bahasa Indonesia).
Beberapa isu penting yang dapat dikembangkan menjadi rekomendasi, diantaranya:
Pentingnya pendampingan dari lembaga/ pengada layanan untuk menstimusi perempuan supaya tidak terhenti sebagai korban dan kelompok rentan semata, tetapi dapat menjadi lokomotif penggerak perdamaian di daerah daerah konflik. Memastikan keterlibatan perempuan secara substantif pada saat merencanakan, mengakses dan mengontrol semua program dan bantuan yang diterakan pada mereka serta menikmati dan mengevaluasinya untuk keberlanjutan program resoloui dan rekonsiliasi konflik.Re-difinisi terhadap pemahaman hadis hadis misoginis atas beredar dan keberadaan menjadi kontra produktif bagi perkembangan dan keberdayaan perempuan.Perlu dirancang program rehabilitasi secara spesifik untuk anak anak mantan kombatan secara konfrehensif termasuk ketersediaan rumah perlindungan anak yang menekankan fungsi rehabilitasi sosial dimana anak anak masih bisa memiliki kelonggaran dalam mengakses aktifitas bermain dengan teman sebaya, pendidikan formal dan non formal serta terdampingi oleh para pekerja sosial professional yang telah dibekali pendidikan bagaimana melakukan pendampingan dan fasilitasi.Penting memikirkan agar kedepan LPSK memilki SDM dan tenaga fungsional pekerja sosial yang professional sehingga dapat melakukan penjangkauan dan penulusuran kelapangan untuk menjangkau korban, serta adanya perencanaan program/anggaran yang responsife untuk anak mantan kombatan. Anak perlu diperkenalkan secara transparan tentang radikalisme dan terosisme serta membuka ruang diskusi terkait hal dimaksud. Memperkuat pemahaman agama dan mengenalkan dalil dalil dan hadis hadis yang misoginis dan mengarah pada radikalisme dan ekstrimisme sehingga memiliki bekal yang cukup dalam menyikapinya. Perlu diperkenalkan cara menggunakan media sosial yang sehat dan positif.Perlu fokus pada upaya membangun generasi milenial yang toleran dan berbudaya. Terkait RAN P3AKS penting dilaksanakan sosialisasi rutin dan melembaga agar masyarakat dan kelembagaan memiliki pemahaman yang sama tentang RAN P3AKS dan mencari solusi dalam permasalahan lokal yang ada; membuka ruang ruang diskusi atas program RAN P3AKS pada kelembagaan dan masyarakat luas dengan menggunakan multi media; menyegarkan kembali pemahaman masyarakat dan kelembagaan terkait atas pilar pilar RAN P3AKS; serta melakukan asistensi pada masyarakat dan kelembagaan terkait agar dapat mengalokasikan dana dan menjalankan program RAN P3AKS sesuai dengan tujuan.
SUMMARY UNTUK DISKUSI MINGGU PERTAMA: PENCEGAHAN KONFLIK DAN KETERLIBATAN PEREMPUAN
· Perempuan, anak (termasuk remaja), kelompok LGBT, dan minoritas menjadi kelompok paling terdampak ketika konflik kekerasan pecah, baik secara fisik maupun psikis. Banyak dari mereka mengalami trauma akibat menyaksikan kekerasan. Trauma yang dialami bisa cukup lama, bahkan sampai sepanjang kehidupan (pengalaman paska kerusuhan Papua). Beberapa dari mereka dikucilkan di masyarakat dan tidak lagi dapat menjalankan aktivitas mereka secara normal, seperti beribadah, bersekolah, dan bekerja. Bahkan ada yang menjadi berubah cita-cita/rencana kehidupan paska menyaksikan kekerasan fisik. Terkait dengan konflik pertanahan di perdesaan, perempuan tidak dapat menghindari dampak konflik, seperti yang dilakukan laki-laki dengan merantau. Perempuan dan anak terpaksa menghadapi konflik. Perempuan di perdesaan memiliki kesulitan menghadirkan bukti-bukti kepemilikan lahan dalam proses persidangan.
· Sejauh ini pemerintah daerah hanya merespon peristiwa konflik kekerasan yang terjadi, belum pada tahap pencegahan. Institusi yang ada di level desa, tidak dimanfaatkan secara optimal, tetapi hanya digunakan untuk menyelesaikan urusan formal seperti adminsitrasi kependudukan. Belum ada keterlibatan perempuan secara formal, terutama dalam proses pengambilan keputusan. NGO, komunitas dan perguruan tinggi di Jogja dan Malang sudah memberikan ruang bagi perempuan dari berbagai kalangan dan latar belakang untuk terlibat aktif dalam usaha menjaga perdamaian dan pencegahan konflik. Namun, partisipasi anggota legislatif perempuan (di Jogja) belum tampak dalam dialog bersama komunitas perempuan di akar rumput.
· Kerentanan sosial, ekonomi, dan politik yang dapat memicu konflik, antara lain:
Ekonomi: sengketa lahan di perdesaan dan penggusuran kelompok rentan kota
Politik: perbedaan pilihan selama masa pilpres dan pilkada.
Sosial: segregasi ruang berdasarkan identitas agama dan etnis
Segregasi ini makin meluas dan mempengaruhi pemahaman keagamaan yang eksklusif dan radikal hingga berdampak pada pelarangan pendirian rumah ibadah bagi agama minoritas dan pembubaran ritual keagamaan yang dianggap berbeda.
· Pemerintah daerah Yogyakarta merespon konflik yang terjadi berulang ini dengan mengeluarkan Instruksi Gubernur DIY No 1/Instr/2019 yang ditandatangani Gubernur pada 4 April 2019. Selain itu, ada beberapa filosofi yang dijadikan pedoman untuk menjaga kerukunan sosial di Yogyakarta, seperti gotong royong dan tepo seliro. Beberapa tradisi juga masih dilakukan seperti Tayub, Nyadran kenduren, dan mentri dusun yang menjadi ruang bagi masyarakat dari berbagai kalangan saling berinteraksi.
· Secara umum, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terbuka dengan pengaruh budaya dari luar. Namun, keterbukaan ini tidak dibarengi dengan daya tahan sosial (resiliensi) yang kuat sehingga masyarakat gagal menyaring paham-paham radikalisme atau ekstrimisme.
· Di beberapa daerah, seperti kota Bekasi, program pencegahan konflik tersebar di beberapa kelembagaan, parsial, dan menyatu dengan program-program lain. Pemkot Bekasi belum merancang program spesifik di bawah payung RAD P3AKS. Sudah ada upaya yang dilakukan masyarakat sipil dan para tokoh agama, tokoh masyarakat perempuan dan akademisi untuk mendorong perubahan norma, persepsi dan pranata sosial terkait dengan perlindungan perempuan dan anak. Keberadaan ruang-ruang perjumpaan masih terbatas padahal msayarakat makin beragam.
· Beberapa peserta sepakat bahwa salah satu kegagalan dalam menyusun strategi pencegahan konflik salah satunya karena pemerintah daerah belum dapat mengidentifikasi tipologi konflik yang berpotensi muncul di wilayahnya. Identifikasi jenis konflik dan potensi konflik yang terjadi di masyarakat dapat menjadi dasar mengembangkan desain dan rencana pencegahan konflik.
· Ada beberapa hambatan dan tantangan yang terungkap dalam diskusi ini, pertama adalah pemahaman perempuan terhadap gender role yang membatasi ruang gerak perempuan itu sendiri dan melanggengkan ketidaksetaraan; dan kedua adalah budaya patriarki yang tertanam di setiap lini kehidupan, terutama di budaya Jawa. Institusi-insititusi yang strategis masih melihat kerja-kerja terkait konflik semata-mata berhubungan dengan karakter masculine, sehingga mengutamakan pengalaman laki-laki dan mengesampingkan pengalaman perempuan.Untuk mengeliminasi hambatan dan menghadapi tantangan tersebut, pegiat perempuan selama ini sudah melakukan beberapa upaya peningkatan dan kapasitas perempuan, menciptakan ruang aman bagi perempuan untuk berdiskusi dan berjejaring. Salah satunya program yang diusung Srikandi Lintas Iman, memberikan pelatihan bertema “Peningkatan Kapasitas Perempuan Lintas Agama untuk Resolusi Konflik dan Perdamaian†sepanjang tahun 2018-2019. Di beberapa desa di Jogja, perempuan juga sudah mulai dilibatkan di musrembang. Bahkan sudah ada upaya untuk mengembangkan program pelibatan laki-laki dalam dialog dan kerja bersama komunitas perempuan sebagai upaya menggugat budaya patriarki dan mewujudkan keadilan gender di masyarakat.
· Penanganan pandemic Covid-19 yang sifatnya psikologis dan mental belum menjadi perhatian pemerintah. Padahal stress, kekhawatiran dan ketakutan personal bisa berkembang menjadi kolektif dan itu sangat potensial menyulut konflik sosial. Sisi psikologis ini juga mempengaruhi bagaimana masyarakat merespon ketidakpastian dan hoaks yang menyebar di media sosial sehingga respon masyarakat berbeda-beda dalam menghadapi pandemic ini. Masyarakat juga terbelah antara mereka yang harus mengabaikan protokol Covid-19 karena tuntutan ekonomi dengan mereka yang merasa protokol Covid-19 harus dijalankan dengan ketat. Perbedaan pendapat tentang bahaya pandemic Covid-19 di masyarakat yang diperparah dengan kerentanan ekonomi dapat menjadi potensi baru konflik. Sedangkan dampak langsung pandemic ini terhadap perempuan dan anak adalah peningkatan beban kerja dan kekerasan domestik.
· Beberapa poin yang dapat dikembangkan menjadi rekomendasi
a. Kajian mendalam tentang tipologi konflik di beberapa daerah di Indonesia.
b. Pemerintah memfasilitasi forum diskusi antar kelompok untuk meningkatkan kepekaan masyarakat tentang potensi konflik.
c. Penerapan kuota untuk memastikan keterlibatan perempuan (dewasa dan remaja) dari berbagai latar belakang -termasuk dari kelompok minoritas- dalam perencanaan, pelaksaan dan evaluasi program-program pencegahan konflik sosial dari level dusun hingga provinsi.
d. Internalisasi pengarusutamaan gender ke dalam pendidikan formal, informal dan non-formal dari mulai level PAUD sampai perguruan tinggi.
e. Menggunakan terminologi yang bisa diterima masyarakat secara baik dan tidak menimbulkan konotasi negatif (semacam konflik) untuk membangun kepekaan masyarakat. Misalnya membangun harmoni.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan untuk Ruang 1 Konsultasi Digital Nasional Review RAN P3AKS (2014-2019).
1. Apa saja dampak konflik sosial yang pernah Anda alami? Secara khusus bagaimana dampak konflik pada perempuan dan anak-anak (termasuk remaja) serta kelompok rentan lainnya?
Jawab: Secara personal saya tak pernah mengalami dampak dari konflik sosial yang pernah terjadi di beberapa daerah di Sulawesi Utara, yang umumnya dipicu oleh perebutan SDA oleh korporasi besar dengan masyarakat lokal. Namun, semasa remaja pernah mengalami langsung dampak dari penolakan oleh sekelompok umat dengan mengusung identitas etnis tertentu terhadap ayah saya sebagai pemimpin sebuah jemaat Kristen di Manado, di mana kelompok umat itu dominan. Perseteruan berawal dari masalah kepemimpinan yang mau direbut, tetapi kemudian dikemas menjadi konflik politisasi identitas. Tak hanya ayah dan keluarga kami yang diserang massa dan mengalami perundungan, saya sendiri nyaris jadi korban pemukulan. Ini adalah pengalaman buruk masa kecil yang hingga kini masih menyisakan trauma.
Beberapa tahun lalu saya menyaksikan langsung sebagian masyarakat lokal, termasuk perempuan di pulau Bangka, yang dijadikan sebagai alat perlawanan vs masyarakat sekampung yang menolak kehadiran perusahaan tambang asing, yang hendak beroperasi di pulau kecil itu.
Ketika kami (para aktivis dan wartawan) berkunjung ke pulau itu untuk menanam pohon mangrove dan membersihkan sampah di pinggiran pantai, ada ibu yang menghadang kami dengan melempar batu, dan bahkan berulah tak senonoh di depan rombongan kami yang sedang merapat ke tepian pantai. Pengalaman pilu yang tak akan terlupakan, di mana perempuan dijadikan sebagai “perisai” para kapitalis yang rakus mau meeksploitasi kekayaan mineral, namun yang mengancan keberadaan pulau kecil itu dan keberlangsungan hidup penduduk lokal.
2. Bagaimana upaya pencegahan konflik dilakukan di tempat Anda?
· Apa saja kerentanan sosial, ekonomi, dan politik yang Anda analisis berpotensi menyebabkan konflik di tempat Anda? Sejauh mana kapasitas masyarakat dapat mengelola kerentanan yang ada?
Dalam pengamatan dan analisis saya, ada beberapa faktor kerentanan sosial, ekonomi, dan politik di SULUT yang berpotensi menyebabkan konflik yakni:
Ø Politisasi identitas agama dan etnis. Kesan dominan tentang Sulawesi Utara adalah aman dan toleran. Ini diperkuat oleh hasil survei dari Setara Institute tahun 2018 yang memasukkan kota Manado dan Tomohon dalam urutan sepuluh besar kota paling toleran di Indonesia. Betul, jika menggunakan indikator kota dan provinsi yang bebas dari PERDA Syariah. Namun faktanya, ada beberapa peristiwa terjadi di kota Manado, walau segera bisa diredam, memperlihatkan adanya kerentanan polititasi agama pun suku tertentu dengan hadirnya kelompok-kelompok radikal dan ekstrim, yang menggunakan nama dan simbol-simbol agama pun etnis, seperti munculnya organisasi-organisasi “para militer” – memberi indikasi adanya kerentanan polititasi identitas di SULUT
.
Ø Penguasaan sumber daya alam berupa penambangan di beberapa tempat di SULUT oleh korperasi besar yang datang dari luar, yang mendapatkan dukungan dan izin operasional dari pemerintah pusat pun daerah mengancam keberadaan hidup masyarakat lokal (adat).
Untuk kasus-kasus politisasi identitas SARA sejauh ini dapat diredam melalui kesiagaan dan keterlibatan pemerintah setempat bersama dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat, yang dilakukan melalui pendekatan dialog dan musyawarah. Sementara pada lain pihak, adanya konsolidasi kekuatan masyarakat sipil bersama dengan media, yang tergabung dalam gerakan interfaith, tetapi terutama juga dalam gerakan kultural yang sudah lama ada dan berkembang dalam satu ikatan bersama “torang samua basudara” dan “SULUT SULIT diSULUT”. Dalam konteks ini, kearifan kultural masyarakat Minahasa yang inklusif dan hospitebel menjadi penanda dan kekuatan pengikat yang tak lekang oleh waktu.
· Bagaimana keterlibatan perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya dalam upaya-upaya pencegahan konflik di tempat Anda?
Sejauh ini pelibatan perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya dalam pencegahan konflik belum dimanfaatkan secara maksimal, kecuali adanya upaya dari kelompok-kelompok masyarakat sipil yang tergabung di dalam gerakan bersama anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta minoritas queer. Namun, kelompok ini belum memfokuskan agendanya secara khusus kepada pencegahan konflik sosial di SULUT.
· Bagaimana anda melihat sistem pencegahan konflik, adaptif terhadap perkembangan radikalisme dan kekerasan ekstremisme?
Tampaknya di SULUT sistem pencegahan konflik, walau belum terbangun secara disengaja dan terencana, tampaknya cukup adaptif terhadap perkembangan radikalisme dan kekerasan ekstremisme. Ini tampak misalnya pada aksi-aksi yang reaktif dan sporadic bagai “pemadam kebakaran” yang biasanya muncul saat peristiwa yang cenderung meengusung isu-isu SARA terjadi.
3. Seberapa jauh program-program pencegahan di dalam RAN P3AKS diimplementasi di tempat anda?
· Bagaimana anda menilai kesesuaian antara substansi pencegahan konflik dengan kebutuhan di komunitas Anda?
Seperti saya sudah sampaikan di atas mengindikasikan bahwa program-program pencegahan seperti yang dalam RAN P3AKS belum kelihatan dan menjadi perhatian para pihak-pihak terkait. SULUT cenderung dianggap sebagai daerah yang aman dan toleran.
· Bagaimana koordinasi yang terjalin antar pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan konflik?
Kordinasi ada, namun nanti muncul ketika terjadi konflik. Jadi bukan dimulai dengan program-program pencegahan yang terencana dan konsolidatif antar pemangku kepentingan. Yang justru ada adalah kekuatan masyarakat sipil yang memang hidup dalam kultur yang hospitable dan membangun relasi-relasi persahabatan antar personal dan gaya hidup yang dialogis. Itulah yang membuat masyarakat di SULUT tak mudah dipicu dan diprovokasi oleh pihak yang menyusup.
· Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dan/atau komunitas untuk mendorong perubahan norma, persepsi dan pranata sosial yang mengarah pada perlindungan perempuan dan anak?
Dari pengamatan dan pengalaman saya, upaya yang mendorong perubahan yang mengarah pada perlindungan perempuan dan anak, justrulebih cenderu datang dari pihak komunitas. Betul bahwa dari pihak pemerintah ada upaya semacam itu, namun ccenderung dikerjakan sebagai proyek, bukan sebagai kewajiban negara untuk melindungi perempuan dan anak sebagaimana termaktub di dalam UU RI Tahun 1994 tentang Ratifikasi CEDAW. Sedangkan komunitas melakukan upaya-upaya ke arah perubahan norma, persepsi, dan pranata sosial sebagai bagian dari kesadaran kritis dalam memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan dan cenderung termarjinalkan. Upaya-upaya itu tampak misalnya dalam
berbagai program edukasi/pemberdayaan dan peningkatan kapassitas, baik itu dikerjakan di internal komunitas sendiri maupun dilakukaan bersama lintas komunitas (jejaring).
· Apakah ruang-ruang perjumpaan antara yang berbeda semakin banyak muncul di kota Anda sehingga masyarakat lebih sering berinteraksi?
Sejauh peengamatan serta pengalaman saya, upaya-upaya itu ada. Namun, inisiatifnya banyak muncul dari kalangan komunitas interfaith. Kalau dari pihak pemerintah betul ada diwakili oleh lembaga-lembaga terkait seperti BKSAUA dan FKUB, tetapi lagi-lagi ruang-ruang perjumpaan itu cenderung seremonial dan tak genuine. Malah kerap, anggaran negara yang tersedia, dipakai untuk proyek “studi banding” bahkan sampai ke luar negeri. Lain halnya dengan komunitas-komunitas lintas iman, mengkreasi ruang-ruang perjumpaan itu sebagai panggilan bersama merajut dialog yang otentik, yang lahir dari kesadaran kritis dan kebutuhan masyarakat yang multikultural dan beragam identitas. Dialog dalam spektrum ini telah menjadi bagian integral dan gaya hidup keseharian. Memang ada perayaan-perayaan komunal yang rutin dilakukan setiap tahun, yang dikenal dengan nama “Pengucapan Syukur” kota dan kabupaten disertai dengan festival-festival budaya. Namun perayaan “Pengucapan Syukur” ini diadopsi dari adat dan tradisi para leluhur masyarakat etnis Minahasa yang sudah ada jauh sebelumnya yakni sebagai sebuah pesta panen raya penduduk lokal. Baru beberapa tahun belakangan ini pemerintah daerah di beberapa kota dan kabupaen khususnya yang berada di tanah Minahasa menggalangnya melalui sebuah instruksi untuk mengadakan perayaan bersama dan terbuka untuk kalangan umum. Sayangnya, kepentingan dari pesta rakyat ini dan juga tampilan festival budaya direduksi untuk mempromosikan parawisata semata.
· Bagaimana pemanfaatan dana desa dalam pencegahan konflik dan mendorong keterlibatan perempuan? Apakah ada potenssi sumber-sumber pendanaan untuk mendukung program pencegahan konflik?
Tampaknya pemanfaatan dana desa belum terarah pada upaya pencegahan konflik yang mendorong keterlibatan perempuan. Semisal di lingkungan tempat tinggal saya, dana desa digunakan untuk membangun pos-pos penjagaan keamanan, tetapi sayang sekali fasilitas itu tak difungsikan sebaagaimana mestinya.
· Apa isu-isu krusial yang perlu diperhatikan dalam pencegahan konflik sensitif gender?
Isu-isu krusial yang perlu diperhatikan adalah:
Ø Eksploitasi (tubuh) perempuan dan anak
Ø Kekerasan seksual
Ø Kekerasan berbasis gender, dan kelompok yang paling rentan adalah minoritas gender (transpuan)
Ø Kekerasan terhadap masyarakat adat dan kelompok minoritas lainnya.
4. Apakah hambatan dan tantangan yang Anda hadapi dalam upaya pencegahan konflik dan memastikan keterlibatan perempuan di dalamnya? Bagaimana cara Anda mengatasi hambatan tersebut?
Hambatan dan tantangan yang saya hadapi adalah minimnya kesadaran kritis masyarakat akan ancaman dan dampak buruk dari politik kaplitalisme global yang berselingkuh dengan negara dan elit-elit lokal. Seperti yang pernah saya saksikan di pulau Bangka ternyata perempuan dipakai oleh perusahaan tambang asing sebagai “bemper” perlawanan dengan sesama penduduk lokal. Penguasaan lahan dan tanah-tanah adat oleh korporasi-korporasi besar sengaja memainkan sesama penduduk lokal dalam pertarungan konflik termasuk didalam pelibatan kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Biasanya juga keterbatan finansial, kemiskinan, dan pendidikan yang minim gampang dimanfaatkan dan diperdaya untuk kepentingan
Cara saya mengatasi hambatan ini adalah melalui proses edukasi dan pemberdayaan termasuk penguatan ekonomi mandiri penduduk lokal. Kerja ini pun tak bisa sendiri melainkan dilakukan secara bersama dan berjejaring dengan pihak-pihak lain yang memiliki visi perjuangan dan kepedulian yang sama dalam membangun dan meningkatkan kapasitas masyarakat.
5. Bagaimana anda melihat kerangka kerja pencegahan konflik dengan keterlibatan perempuan dijalankan dalam konteks pandemic apakah Anda melihat isu-isu baru yang penting untuk diperhatikan pemerintah dan non pemerintah dalam konteks pencegahan konflik di masa depan?
Kerangka kerja pencegahan konflik seperti ditemukan di daerah saya kelihatannya tak dapat menjawab masalah apalagi dijalankan dalam konteks pandemic yang sangat beresiko. Justru yang proaktif dan berani melangkah di garda terdepan adalah kelompok-kelompok perempuan dan juga transpuan dalam aksi-aksi solidaritas dan empati menggalang bantuan meminimalkan dampak pandemic.
Sebetulnya isu-isu yang saya mau sampaikan tak sama sekali baru, tetapi pengembangan yang sudah ada sebelumnya yang penting untuk diperhatikan pemerintah pun non-pemerintah dalam mencegah konflik di masa depan adalah:
Ø Memperkuat penyebaran nilai-nilai kultural dan kearifan lokal yang inklusif dan hospitabel, serta pendidikan multicultural, melaui kurikulum pendidikan formal pun informal.
Ø Memperkuat ketahanan pangan lokal melalui pengembangan industri pertanian yang mandiri dan meminimalkan ketergantungan pada politik ekonomi global yang destruktif.
Tomohon, 31 Agustus 2020
Wassalam,
Ruth Ketsia Wangkai
Wahid Foundation selama satu dekade ini telah secara rutin melakukan pemantauan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), kami mencatat ada hal – hal krusial menyangkut penanggulangan konflik – konflik sosial berbasis agama. Setidaknya dalam kasus – kasus konflik atas nama agama, perempuan dan anak menjadi kelompok paling rentan terkena dampak dalam berbagai bentuk misalnya akses keadilan, hak-hak perempuan dan anak – anak yang terabaikan. Penanggulangan konflik keagamaan bisa dimasukkan dalam berbagai pilah dalam RAN P3AKS baik di pencegahan, pemberdayaan perempuan maupun perlindungan anak. Pertama, Kami berharap model pemberdayaan perempuan melalui pendekatan ekonomi yang selama ini kita upayakan bisa menjadi salah satu model pencegahan konflik sosial dimana para perempuan didorong untuk meningkatkan penghasilan dan membangun kohesi sosial dengan menggunakan ekonomi sebagai tools komunikasi antar komunitas. Kedua, pencegahan konflik dengan membangun perlindungan anak, contoh yang kita lakukan selama ini yakni melalui Sekolah Damai sebagai upaya untuk memastikan bahwa sekolah sebagai lingkungan edukasi dan interaksi anak-anak menyemai toleransi dan tidak ada diskriminasi atas nama kelompok/identitas keagamaan dan keyakinan.
Terimakasih AMAN Indonesia telah menggelar Konsultasi Digital Nasional, forum ini merupakan kesempatan berharga bagi kami untuk terus mengawal dan berkontribusi memberikan masukan – masukan terkait kebijakan dan program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang adil dan setara dalam pencegahan konflik sosial. Pengalaman-pengalaman sedikit dari kami di lapangan, semoga dapat menjadi modal perbaikan RAN P3AKS ke depan lebih implementatif dan berdampak.
Pertanyaan:
Apakah hambatan dan tantangan yang Anda hadapi dalam upaya pencegahan konflik dan memastikan keterlibatan perempuan di dalamnya? Bagaimana cara Anda mengatasi hambatan tersebut?
Tanggapan:
Perkenalkan saya Nur Aisyah Maullidah dari GA4P Lamongan (Girl Ambassadors for Peace Lamongan) Saya akan mencoba menjawab pertanyaan panduan yang direkomendasikan, mengingat kapasitas saya yang masih perlu untuk lebih banyak mencari tahu, maka saya hanya akan menjawab pertanyaan yang saya ketahui dengan cukup baik.
Kabupaten Lamongan dengan jumlah penduduk mencapai 1.360.987 (2017), setelah sempat mendapatkan penghargaan sebagai terbaik tingkat nasional dalam kategori pelaksanaan Kinerja Rencana Aksi Terpadu Penanganan Konflik Sosial pada 2019, Lamongan dikenal sebagai Kabupaten yang cukup kondusif berkat sinergi yang terjalin antara seluruh tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam FORKOPIMDA (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah) setempat. Selain itu dalam hal penanganan gerakan radikal, Pemerintah Kabupaten Lamongan melakukan koordinasi berkala dengan Polres, TNI, dan BNPT, juga dalam hal mekanisme pelaporan pemerintah Lamongan mengupayakan prosedur pelaporan yang mudah dan pengetatan pengawasan bagi masuknya warga negara asing. Strategi ini merupakan poin plus yang menjadikan Lamongan sebagai kabupaten panutan dalam penanganan konflik sosial. Namu, seberapa jauh perempuan dan pemuda dilibatkan dalam pencegahan konflik atau dalam hal ini meluasnya paham radikal atau potensi pemucu konflik lain yang mengganggu keamanan?
Sampai saat ini, tinjauan mengenai dilibatkanya masyarakat secara inklusif, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan pemuda yang kini juga memiliki potensi sama besar pada keterlibatan aliran radikal belum begitu terlihat secara aktif dilibatkan. Dalam penangannnya, Pemerintah melakukan sinergi yang dibangun hanya dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama, dalam beberapa kesempatan organisasi kepemudaan banyak yang mencoba untuk melakukan dialog dengan pemerintah mengenai isu yang berpotensial memicu konflik sosial dan berkaitan dengan monitoring seberapa jauh telah diambil langkah penanganannya namun sering kali mengalami proses yang terlalu berbelit dengan birokrasi sehingga dialog berupa diskusi yang dicangangkan tidak jadi diselenggarakan, contohnya dialog dalam bentuk diskusi “Penanganan Limbah B3” (yang sempat mendapat penolakan keras dari warga desa Brondong karena berpotensial menghilangkan mata pencaharian warga sekitar dan belum adanya analisis dampak lingkungan yang jelas) yang akan diselenggarakan beberapa organisasi kepemudaan dan mengundang perwakilan dari pihak pemerintah sulit terlaksana disebabkan rumitnya birokrasi yang seakan mempersulit akses dialog yang didalamnya masyarakat akan berpendapat dan berdiskusi mengenai penyelesaian masalah. Padahal dialog semacam ini termasuk menjadi cara yang efektif dalam mendiskusikan penyelesaian masalah yang berpotensial memicu konflik dan menyertakan keterlibatan masyarakat secara aktif melalui representasi organisasi-organisasi kepemudaan atau kemasyarakatan yang kemudian juga disaksikan oleh peserta diskusi yaitu masyarakat luas. Selain itu, perhatian khusus untuk memberikan pemahaman berupa pendidikan yang memuat pengetahuan umum pencegahan masuk dan terlibatnya seseorang dalam aliran radikal belum juga terlihat diberikan kepada perempuan dan pemuda.
Sebagai sebuah solusi, kami merasa bahwa jika hanya satu atau dua organisasi yang bergerak, maka gerakan yang diperlihatkan tidak akan cukup menarik perhatian pemerintah tapi perlulah gerakan besar yang dihimpun oleh organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan yang bersinergi untuk memberikan dorongan kepada pemerintah agar melibatkan seluruh lapisan masyarakat terutama kelompok rentan seperti perempuan dan pemuda dalam proses penanganan dan pencegahan konflik sosial, lebih khusus merebaknya paham radikal.
Oleh : Yuliana TB Tacoh
1. Apa saja dampak konflik sosial yang pernah Anda alami? Secara khusus bagaimana dampak konflik pada perempuan dan anak-anak (termasuk remaja) serta kelompok rentan lainnya?
Tanggapan :
Saya berasal dari Sulawesi Tengah, khususnya daerah pasca konflik Poso.Saat konflik Poso pecah tahun 1998 saya masih berada di Poso, sampai tahun 2006. Tahun 2006 itu juga saya dipindahkan bertugas di Palu sampai 2015. Kemudian tahun 2015 Saya pindah ke Salatiga. Sehingga saya akan menanggapi diskusi ini menurut situasi dan kejadian di Sulawesi Tengah khususnya daerah Poso dimana pernah mengalami konflik sosial.
Dampak konflik sosial yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat adalah memudarnya ikatan primordial dan kekerabatan, lunturnya rasa saling percaya. Merosotnya pertumbuhan ekonomi daerah, kualitas pendidikan yang sulit bersaing.
Dampak konflik sosial, bagi kaum perempuan adalah peningkatan volume kerja dari area rumah tangga menuju pada area kerja mencari nafkah sebab saat konflik kaum lelaki berkonsentrasi pada situasi keamanan, dampak konflik lainnya pada masyarakat adalah mereka mengalami perpecahan dan retaknya hubungan kekerabatan dengan saudara dan sahabat lama karena rasa curiga dan hilanya kepercayaan. Bagi anak kehilangan kesempatan untuk mengalami peningkatan pendidikan, pergaulan dan masa bermain dengan sesama teman, sebab mereka harus mengungsi mengikuti orang tua, dan hidup dalam ketakutan. Bagi kaum lanjut usia dampak konflik adalah rentannya kesehatan dan perawatan sebagai lansia sebab mereka yang harusnya menjaga lansia lebih sibuk dengan menangani situasi konflik dan bagaimana mengupayakan kehidupan yang aman.
2. Bagaimana upaya pencegahan konflik dilakukan di tempat Anda? Yang saya alami pencegahan konflik di daerah Poso Sulawesi Tengah :
Tanggapan :
Upaya dari pemerintah untuk mencegah konflik masih bersifat pendekatan “menyelesaikan yang terjadi dipermukaan “ dan belum membuat kerangka pencegahan secara terpadu, yang melibatkan masyarakat dari “akar rumput”. Pemerintah mengatasi konflik apabila terjadi kejadian pelanggaran hukum atau tindak pidana yang masih menjadi tindakan bawaan “sakit hati” dan “balas dendam” dengan pendekatan penegakkan hukum. Namun belum menampakkan langkah yang strategis untuk penanggulangan konflik dan radikalisme. Pemerintah Daerah hingga saat ini terlalu fokus pada pembangunan fisik tetapi masih belum menyentuh pembangunan non fisik. Alokasi anggaran untuk pembangunan fisik masih lebih besar daripada alokasi anggaran untuk non fisik. masyarakat sebenarnya mengalami rasa sakit pada non fisik karena rasa trauma, kehilangan, dendam dan lain sebagainya.Ini dibuktikan saat ini di Poso masih ada kekhawatiran dengan rasa aman terhadap masyarakat karena secara substansi kebijakan Pemerintah Daerah belum dapat mencegah ancaman terhadap masyarakat Poso. Tolak ukurnya masih adanya teror, masih munculnya persepsi gap-gap antar kelompok belum adanya rasa persatuan, yang dilihat saat ini hanya terjadi pada permukaan.
Salah satu hal yang digagas pemerintah untuk mencegah konflik adalah dalam bentuk pendidikan yang berbasis multikultural di Poso dengan membangun sekolah harmoni . Inipun sebenarnya inisiasi dari sebuah LSM WVI yang bekerjasama dengan Pemerintah Daerah poso, tokoh-tokoh agama dan organisasi keagamaan. Salah satu sekolah yang telah menerapakan sekolah harmoni adalah SDN 7 Poso. Siswanya mulai ditanamkan ajaran tentang harmoni diri (disiplin), harmoni lingkungan (menjaga lingkungan) dan harmoni sesama (menjaga kebersamaan dan persatuan)”. – Namun, Belum ada regulasi yang dapat dijadikan legitimasi untuk memasukkan pendidikan harmoni disetiap jenjang pendidikan di Poso
Hal yang dibentuk pemerintah yang juga bisa terlihat adalah dialog antar umat beragama Tantangan diposo saat ini yaitu masih adanya adanya kelompok radikal yang bersikeras agar terjadinya kembali konflik di poso, pihak kepolisisan juga melakukan pembinaan terhadap mereka denga cara membatasi ruang gerak mereka agar paham radikal ini tidak meluas ke masyarakat. Pihak kepolisian kerjsaama denga MUI, KEMENAG, pihak sekolah-sekolah dan majelis ta’lim yang ada d poso.
Gaung pencegahan konflik kemudian mulai digagas secara sistematis, dimana pada tahun 2017 ada lokakarya yang dilaksanakan oleh Polda Sulteng dan komnas HAM tentang perumusan strategi penanggulangan konflik dan radikalisme di Sulteng. Hasil Perumusan itu seperti : upaya pencegahan konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya membangun sistem peringatan dini konflik, penguatan kerukunan umat beragama, pendidikan bela Negara dan wawasan kebangsaan dan juga pemetaan wilayah konflik melalui penelitian yang komprehensif guna membabat habis akar konflik. Penegakan hukum, bantuan sosial, Namun belum terimplementasi dalam berbagai program yang melibatkan masyarakat secara aktif.
– Apa saja kerentanan sosial, ekonomi dan politik yang Anda analisis berpotensi menyebabkan konflik di tempat Anda?
Tanggapan:
Potensi konflik masih terasa di Poso, masih ada segregasi penduduk, masih banyak orang yang kehilangan mata pencaharian, ketegasan pemerintah dalam pencegahan kasus terorisme di Poso belum terlalu nampak buktinya masih ada peristiwa penyerangan petugas kepolisian pada bulan Mei 2020 yang lalu, dan kasus penyanderaan dan pembunuhan petani di kebunnya terjadi pada bulan Agusutus 2020 baru-baru ini.
Pada bidang ekonomipun masih sangat terasa jika orang masih takut untuk pergi ke kebun karena ancaman kelompok bersenjata, tentu saja sangat mempengaruhi kualitas penghasilan mereka yang didapat dari berkebun dan lahan pertanian lainnya.
Kerentanan politik pun sangat terasa, ketika pelaksanaan Pemilu masih sangat terasa pengusungan kontestan dengan memakai politik identitas, entah dengan menonjolkan simbol agama ataupun suku.
– Sejauh mana kapasitas masyarakat dapat mengelola kerentanan yang ada?
Tanggapan :
Sebagian masyarakat sudah menyadari bahwa mereka adalah pelaku utama dalam pencegahan konflik dan kekerasan, karena itu ada berbagai ruang yang dipakai masyarakat untuk melakukan itu. Melalui kegiatan di sektor pendidikan formal dengan memasukkan unsur pendidikan harmoni di kurikulum pendidikan. Berisi pesan tentang hidup harmoni dengan alam, harmoni dengan sesama dan harmoni diri. Dengan pemahaman bahwa Beberapa komunitas masyarakat seperti telah membentuk berbagai kegiatan berbasis budaya dan pendidikan. Seperti, sekolah perempuan, komunitas rumah katu (didirikan oleh eks napi teroris) yang mengajak masyarakat untuk membangun poso yang damai berdasarkan budaya yang ada. Memang masih terbatas pada kalangan siapa yang bersedia dan merasa siap ikut terlibat di dalamnya, artinya belum semua kalangan atau komponen masyarakat yang ikut terlibat secara mandiri.
– Bagaimana keterlibatan perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya dalam upaya-upaya pencegahan konflik di tempat Anda?
Tanggapan:
Saya pernah meneliti dan akan melanjutkan penelitian saya mengenai sekolah perempuan perdamaian yang dibentuk di Kabupaten Poso. Ini kegiatan pendidikan nonformal yang bertujuan untuk rekonsiliasi dan pencegahan konflik. Selama pengamatan saya dalam penelitian tersebut perempuan yang terlibat didalamnya sangat antusias, walaupun seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa belum semua kalangan masyarakat terlibat, tetapi keterlibatan perempuan di sini untuk pencegahan konflik sudah dilakukan secara mandiri. Ada juga kegiatan serupa yang dinamakan sekolah perempuan mosintuwu, ini didirikan oleh institut Mosintuwu di Poso. Jadi upaya pencegahan konflik dimana kaum perempuan terlibat adalah upaya mandiri dari masyarakat.
Keterlibatan anak-anak sudah dilakukan sejak usia dini walaupun masih sebatas adanya intervensi dari pihak lain yaitu penanaman nilai perdamaian lewat kurikulum yang berbasis pendidikan harmoni.
– Bagaimana anda melihat sistem pencegahan konflik adaptif terhadap perkembangan radikalisme dan kekerasan extremisme?
Tanggapan :
Pencegahan konflik di kabupaten Poso belum terbentuk secara sistematis sebagai kegiatan strategies, bahkan deklarasi Malino belum terealisasi sepenuhnya. Reintegrasi sosial belum sepenuhnya selesai sampai saat ini. Segregasi masyarakat masih ada. Walaupun Visi Pemerintah Daerah 2016-2021 juga ingin menuntaskan masalah radikalisme dan terorisme di Poso dengan melibatkan semua kelompok masyarakat. Namun, ada banyak sisi yang belum tersentuh, seperti kebutuhan masyarakat akan keadilan. Artinya dalam pencegahan konflik, radikalisme dan terorisme, satu hal penting harus menjadi bagian di dalamnya ada pemberlakuan keadilan baik dari proses hukum maupun pemulihan ekonomi. Hal yang masih dapat dikatakan juga adalah upaya pencegahan radikalisme di Kabupaten poso aktor dari pemerintah masih kuat seperti TNI, Polri dan BNPT. Itu berarti pencehagan masih sebatas pendekatan hukum dan tindak represif, sementara peran aktor seperti masyarakat sipil, Perguruan Tinggi dan swasta masih lemah, jadi bukan sistem pencegahan yang terstruktur dengan melibatkan semua elemen masyarakat. Buktinya masih ada tindakan teror oleh kelompok radikal yang mengakibatkan korban jiwa tgl 12 Agustus 2020 baru baru ini.
3. Seberapa jauh program-program pencegahan di dalam RAN P3AKS diimpelentasikan di tempat anda?
Tanggapan :
Sejauh ini yang telah dilakukan oleh pemerintah darah baik propinsi mapupun kabupaten adalah Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah telah menyusun Rencana Aksi Daerah Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial di Provinsi Sulawesi Tengah. RAD ini menjadi penting dan dapat menjadi payung bagi adanya RAD di tingkat kabupaten/kota termasuk kabupaten Poso. RAD Sulawesi tengah menekankan bidang Pencegahan dan Penanganan Konflik termasuk dalam membangun early warning system, sistem pencegahan dini dengan mengidentifikasi tanda-tanda awal yang perlu ditangani untuk mencegah konflik.
Selain itu, dI tingkat pemerintah daerah kabupaten Poso telah dibangun beberapa program terkait:
(1)kebijakan yang berperspektif pro POOR dan pro GENDER. Telah ada Perda No 6 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Perlindungan, Pelayanan dan Pemulihan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Kabupaten Poso. Kebijakan ini dianggap mengakomodir kepentingan hak-hak perempuan dan anak korban kekerasan.
2) Peraturan Bupati No 11 tahun 2011 tentang Prosedur Standar Oprasional (SOP) Pelayanan terhadap Korban Kekerasan pada Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Poso.
3) Kebijakan keterbukaan untuk mengakses (open to access) dan partisipasi perempan dalam berbagai tingkat: perencanaan dan pelaksanaan program.
Namun, kebijakan di atas belum dilaksanakan secara efektif, yang antara lain karena minimnya anggaran untuk melakukan program-program bagi kelompok perempuan di daerah konflik. Penanganan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender termasuk yang dilakukan oleh aparat keamanan yang bertugas di Poso belum menjadi fokus perhatian pemerintah. Di samping itu, program paska konflik belum memberikan layanan pemulihan kepada masyarakat yang mengalami trauma akibat konflik.
– Bagaimana Anda menilai kesesuaian antara subtansi pencegahan konflik dengan kebutuhan di komunitas Anda?
Tanggapan :
Substansi pencegahan konflik masih perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Jika melihat bahwa di Tingkat Kabupaten Poso program-program penghentian konflik melalui pendekatan keamanan, pendidikan, ekonomi dan kemasyarakatan telah berjalan. Hanya saja perlu ada evaluasi terhadap program yang ada mencerminkan perspektif gender. Selain itu, Rencana Aksi Daerah sudah mulai digagas oleh kelompok masyarakat sipil, akademis dan aktor dari pemerintah. Inisiatif penyusunan RAD perlu dilanjutkan. Pemerintah perlu menyusun program pembangunan yang pro keadilan gender, termasuk penguatan ekonomi masyarakat di tingkat pedesaan, pemanfaatan akses-akses penghidupan, kesehatan dan pendidikan.
– Bagaimana koordinasi yang terjalin antar pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan konflik?
Tanggapan:
Masih perlu adanya sinergi antara pemerintah, aparat keamanan, kelompok masyarakat sipil, akademisi dan peran swasta. Inisiatif-inisiatif yang ada di dalam masyarakat, khususnya perempuan, untuk menciptakan perdamaian patut diapresiasi. Inisiatif tersebut khususnya dalam dalam menguatkan kapasitas sesama perempuan di Poso dan menjaga nilainilai toleransi kepada sesama perempuan antar komunitas agama dan suku yang berbeda hingga saling mendukung dalam melakukan advokasi bersama atas isu dan permasalahan yang menimpa antar kelompok perempuan Poso.
– Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dan/atau komunitas untuk mendorong perubahan norma, persepsi dan pranata sosial yang mengarah pada perlindungan perempuan dan anak?
Tanggapan :
Masih sebatas Rencana Aksi Daerah yang diprogramkam di Propinsi Sulawesi Tengah untuk menjadi payung pada pelaksanaan Program RAD di Kabupaten Poso, yang belum efektif dilaksanakan.
– Apakah ruang-ruang perjumpaan antara yang berbeda semakin banyak muncul di kota Anda sehingga masyarakat lebih sering berinteraksi?
Tanggapan :
Selama ini ruang perjumpaan bersama yang diupayakan untuk menjadi wadah masyarakat lebih sering beinteraksi adalah kegiatan-kegiatan budaya seperti pelaksanaan festival danau Poso.
Namun, kegiatan di Sekolah Perempuan Mosintuwu dan Sekolah Perempuan AMAN sebenarnya telah menjadi wadah perjumpaan masyrakat untuk lebih sering berinteraksi.
– Bagaimana pemanfaatan dana desa dalam pencegahan konflik dan mendorong keterlibatan perempuan? Apakah ada potensi sumber-sumber pendanaan untuk mendukung program pencegahan konflik?
Tanggapan :
Pemanfaatan dana untuk keperluan perencanaan desa, belum terlihat ada program terstruktur untuk pencegahan konflik. Namun, kegiatan Sekolah Perempuan mosintuwu sudah dilibatkan dalam penyusunan program kegiatan di Desa, melalui Musyawarah Desa.
4. Apa isu-isu krusial yang perlu diperhatikan dalam pencegahan konflik sensitif gender?
Tanggapan
Isu krusial lain adalah : Pemulihan ekonomi, perbaikan akses kesehatan, perempuan peduli lingkungan, pendidikan perempuan
– Apakah hambatan dan tantangan yang Anda hadapi dalam upaya pencegahan konflik dan memastikan keterlibatan perempuan di dalamnya?
Tanggapan :
(1)kepedulian perempuan secara bersama untuk mencegah konflik melalui pelaksanaan pendidikan dalam rumah
(2) keterbatasan kapasitas Pengetahuan Perempuan di tingkatan Kampung, terkait Pentingnya Menjaga perdamaian dalam kaitannya dengan Hak Seksualitas Perempuan
– Bagaimana cara Anda mengatasi hambatan tersebut?
Tanggapan :
Pelibatan perempuan dalam forum bersama yang nonformal, pelibatan perempuan dalam kegiatan pemulihan ekonomi .
5. Bagaimana Anda melihat kerangka kerja pencegahan konflik dengan keterlibatan perempuan dijalankan dalam konteks Pandemic Covid 19?
Tanggapan :
Pemerintah berupaya terus melakukan sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah dalam meningkatkan kewaspadaan dini terhadap berbagai ancaman keamanan untuk menciptakan situasi yang kondusif.
Para tokoh agama juga menghimbau umatnya untuk tetap menyadari pentingnya memperkokoh kerukunan antar umat bergama. Karena kerukunan akan melahirkan kehidupan yang damai dan solidaritas yang tinggi sehingga masyarakat beragama dapat memiliki kekuatan batin dan kepercayaan diri yang kokoh sehingga terhindar dari perasaan kejiwaan yang tidak menentu atau stress. Kesadaran akan pentingnya kerukunan umat beragama di tengah pandemi wabah covid 19 menjadi kunci untuk membangun kerukunan nasional. Jika kerukunan umat beragama terganggu, maka kerukunan nasional akan terganggu dan hal ini dapat mendistorsi perhatian pemerintah yang saat ini sedang consen menghadapi wabah mematikan ini
– Selain pandemic apakah Anda melihat isu-isu baru yang penting untuk diperhatikan pemerintah dan non pemerintah dalam konteks pencegahan konflik di masa depan?
Tanggapan :
Isue baru yang penting selain pandemic yang penting untung diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat dalam konteks pencegahan konflik adalah kerusakan lingkungan di Poso, terutama daerah sepanjang aliran Sungai Poso dan daerah pinggiran Danau Poso. Jika kerusakan lingkungan terjadi, maka diprediksi terjadi perebutan lahan dan mungkin juga penguasaan lahan bagi yang dekat dengan penguasa dan semakin meminggirkan masyarakat sekitar, sehingga akses masyarakat untuk pemulihan ekonomi, keamanan semakin mengambang karena masing-masing mencari kenyamanan dan keamanan sendiri bagi mereka yang memiliki lahan. Bagi mereka yang makin terpinggirkan akan semakin terdesak, potensi masyarakat yang tersegragasi makin terasa.
Salam mba Aya.
Berikut ini tanggapan saya:
TANGGAPAN PERTANYAAN 1
Saya tinggal di Yogyakarya. Konflik sosial terjadi tidak secara terbuka namun letupan tersebut beberapa kali muncul, misalnya konflik terkait alih fungsi lahan untuk perumahan maupun apartemen, konflik penduduk dengan warga kost dari daerah Papua, Maluku, NTT, konflik dengan kekerasan yang biasa disebut klithih (remaja yang melakukan kekeraaan secara acak yang beberapa kali menyebkan korban meninggal dunia) tawuran antar sekolah dan beberapa kali konflik bernuansa agama.
Beberapa konflik ini tentu sangat berdampak bagi para perempuan dan anak, khususnya terkait klithih dan alih fungsi lahan.
TANGGAPAN PERTANYAAN 2
Perekonomian Yogyakarta bertumpu pada bidang jasa, pendidikan dan wisata. Pertanian di beberapa daerah, khususnya Bantul, Sleman dan Kulonprogo hanya untuk pemenuhan kebutuhan lokal, untuk pangan masih ditopang daerah sekitar seperti Magelang san Klaten.
Sebagai daerah salah satu pusat pendidikan, banyaknya lembaga pendidikan membuka banyak peluang di sektor jasa dan mengundang banyak pendatang yang sebelumnya adalah pelajar dan mahasiswa dari luar.
Banyak lahan masyarakat yang akhirnya di beli para pendatang, termasuk tanah-tanah yang sebelumnya diperuntukan bagi pertanian. Proses alih guna lahan ini pada akhirnya menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi karena para pemilik tanah menggunakan uang pembelian untuk hal-hal konsumtif. Kesenjangan ini terasa bila amati dari capaian jenjang pendidikan anak di desa-desa, kehamilan tak diinginkan karena kekerasan dalam pacaran sehingga remaja perempuan putus sekolah, punya anak dalam usia sangat muda. Para perempuan uang menjadi ART di rumah-rumah para pendatang adalah warga lokal, yang diantaranya dulu keluarga ART itulah pemilih tanah tanah yang sekarang didiami majikannya. Sayangnya salam hal ini sangat sedikit para majikan yang mau memberi upah ART yang tetangganya sendiri dengan UMR. Solidatitas sesama perempuan dari majikan petempuan secara umum juga masih rendah. Masih ada ART tetangga desa yang kerja 7 hari dan tidak dihitung lembur.
Terkait lahan Yogyakarta memiliki peraturan tersendiri dalam UU Keistimewaan, namun dalam pelaksanaannya, dorongan konsumtivisme masyarakat bawah dan proses kurang transparan pejabat daerah, hingga ini terus berlangsung.
Terkait alih fungsi lahan, peran perempun cukup kuat. Sekitar tahun 2003/2004 pernah terjadi konflik terkait pembelian mata air umbul wadon oleh perusahaan Danon. Padahal aliran air ini yang sangat dibutuhkan para petani. Tokoh pejuang mata air adalah para perempuan yang didampingi LSM Wanamandira, dan gugatan ini akhirnya berhasil.
Namun demikian proses pemiskinan warga lokal terus berlangsung. Kami dari Aliansi Perempuan Sleman sudah menyampaikan pada wakil Bupati Sleman untuk memberi perhatian lebih pada pendididkan anak-anak yang putus sekolah dan masalah-masalah yang melingkupinya dengan harapan pemerintah berkomitmen menghentikan laju kemiskinan ini.
Potret kesejangan yang sangat ekstrim menurut saya ada pada fenomena klithih, anak ayau remaja yang ingin mendapat pengakuan sosial dengan cara melakukan kekerasan.
Sebagai daerah yang menjadi tempat tujuan belajar, menjadi salah satu tempat inkubasi paham keagaman trans nasional melalui berbagai kegiatan halaqoh di kampus-kampus. Para mahasiswa juga kemudian mengkader calon-calon mahasiswa di sekolah-sekolah. Namun 2-3 tahun terkahir, kampus-kampus dan dinas pendidikan mulai bersikap lebih tegas dalam mengantisipasi perkembangan ekstrimisme.
Di daerah Sleman khususnya kecamatan Ngaglik ada komunitas keagamaan tertutup dan beberapa kesempatan terjadi pengejaran terhadap tersangka teroris di jalan Kaliurang dekat polsek Ngaglik yang mengindikasikan di daerah ini ada tempat yang dianggap nyaman untuk persembunyian.
Saya melum melihat suatu ‘sistem’ untuk pencegahan ekstrimisme. Yang saya lihat adalah gerakan kultural dari paguyuban para Rois (orang -orang uang diangkat oleh masyatakat unyuk mengurusi masalah keahamaan, yang selama 4 tahun terakhir dalam pengajian-pengajian yang saya amati mereka merespons secara aktif perkembangan ekstremesme, dengan membuat wacana tandinhan tentang Islam rahmatan lil alamin. Di sisi lain saya juga mengamati, bukan hanya aktifis muslim, mulai banyak juga aktifis yang beragama Kristen dan Katolik yang menunjukkan sikap kritis terhadap kasus-kasus kekerasan seksual pada perempuan san anaknyang terjadi di lingkungan gereja.
TAANGHAPAN PERTANYAAN 3
Terkaiat dengan pertanyaan ketiga, yang ada di lapangan framenya bukan konflik, melainkan dalam rumusan yang lebih positif, yaitu upaya pemenuhan kesejahteraan dan hak-hak warga
Usaha meningkatkan kesejahteraan yang dilakukan pemerintah dalam subsidi di bidang kesehatan pendidikan dan ekonomi sesungguhnya megarah pada akar yang potensial menjadi sumber konflik. Namun demikian realisasinya masih membutuhkan partisipasi yang ini membutuhkan kompetensi di bidang manajerial para pemangku kepentingan yang belum merata. Dana desa banyak terserapndi sektir pertanian, pendidikan, infrastruktur juga.
Dalam menjaga harmoni, masyarakat memiliki modal kultural dan keagamaan yang baik, sehingga iuran sumbangan sosial adalah modal kuat yang sudah terbukti sangat membantu bahkan sebelum ada dana desa.
Sayang data penduduk yang belum terkelola naik, masyarakat miskin yang konsumtif dan minimnya literasi keuangan menyebabkan dana yang ada belum memberi impact yang signifikan.
Salam hal koordinasi dalam pengamatan saya di Yogya cikup sigap. Sayangnya dalam kasus klithih seribg hanya dilihat di permukaan sebagai kekerasannoleh anak dan remaja di jalan saja, belum serius menangani sebagai sampak lanjut dari situasi sosial-ekonomi serta perubahan sosial yang belum diantisipasi.
Perubahan norma mestinya dilakukan melalui pendidikan dan kebijakan terkait di lebel formal, non formal maupun informal.
Hingga saat ini sangat musah di temikan fenomena inverioritas perempuan dalam menyikapi KDRT maupun kekerasan seksual dalam pacaran. Di sisi lain juga angkanperceraian mengingkat tajam, khususnya di Gunung Kidul sna Bantul.
UU KDRT dan UU oerlindungan anak masih minim sosialisasi di temgah masyarakat. Kokujitas Belajar masyarakat yang mengelola kejar paket bisa dikatakan tidak progresis untuk aktif mengajak anak-anak putus sekolah di usia wajib belajar untuk terus belajar jon formal.
Tentang ruang-ruang perjumpaan, sudah puluhan tahun Yogyakarta menjadi ruang perjumpaan banyak orang dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang. Padabtahun 1995 berdiri lembaga antariman pertama di Indonesia yaitu Institut DIAN Interfidei. Tahun 1998 lahir Forum Persaudaraan Umat Beriman, Komunitas Tikar Pandan, di mana saya pernah menjadi bagian dari Interfidei dan Komunitas Tikar Pandan, yang pegiatnya para mahasiswa dari berbagai latar belakang. Tahun 2016 saya beberapantan guru yang sejak 2005 tergabung dalam Gorum Komunikasi guru-guru agama mendirikan Paguyuban Penggerak Pendidikan Interreligius, yang pada 2018 sesuai badan hukum berubah nama menjadi Perkumpulan Pengembang
Pendidikan Interreligius (yang disingkat Pappirus) yang merumusan pendidikan agama berwawasan Pancasila sebagai pengayaan pendidikan agama, agar para siswa memoliki wawasan kemajemukan, kesadaran tentang martabat kemanusiaan yang setara di hadapan Tuhan serta kertrampilan bekerjasama.
Selaian komunitas-komunitas yang saya sebut dinatas ada juga paduan suara antariman Interfaithvoice, SRILi, dll yang semangatnya sama dengan yang ada di berbagai pelosok dalam ruang lingkup dan metodenyang berbeda-besa.
TANGGAPAN PERTANYAAN 4
Hambatan yang ada pada saya pribadi dalam melibatkan diri untuk pencegahan konflik barangkali adalah keterbatasan sinergi dengan para pemanhku kepenyingan. Hambatan ini saya dan kawan-kawan atasi dengan melakukan sinergi. Misalnya Pappirus membuat MoU dengan Kanwil Kementrian Agama, dengan Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Indonesia, berjejaring dengan Koordinayor Wilayah Yogya AMAN Indonesia, Pusat Studi Perdamaian Universitas Kristen DutaWavana, Salam Yogjakarta, FIS UNY, dll. Saya oribadi bergabung dengan Aliansi Perempuan Sleman yang di dalamnya ada para aktifis perempuan, anggota DPRD, pendidik aktifis organisasi keagamaan..
Demikian kontribusi saya..
Terimakasih
5. Bagaimana Anda melihat kerangka kerja pencegahan konflik dengan keterlibatan perempuan dijalankan dalam konteks Pandemic Covid 19? Selain pandemic apakah Anda melihat isu-isu baru yang penting untuk diperhatikan pemerintah dan non pemerintah dalam konteks pencegahan konflik di masa depan?
Saya melihat bahwa adanya covid menunjukan bahwa perempuan memang menjadi sang penggerak ekonomi perawatan, di tengah badai PHK dan badai PJJ misalnya perempuan tidak hanya berubah menjadi penyelamat ekonomi keluarga dengan mencari ruang penghidupan alternative, tapi juga disaat yang sama harus menjadi guru 24 jam bagi anak-anaknya di rumah. Pandemi, sendiri meningkatkan angka KDRT dan perceraian (riset di Gunungkidul) hal ini rata2 didominasi karena konflik sosial dan ekonomi akibat pandemic. Saya pikir isu penting lainnya dalam konteks pencegahan konflik di masa depan adalah bagaimana isu pencegahan konflik dapat diintegrasikan dalam pembanguann Desa dan Kawasan Perdesaan melalui penguatan dann internalisasi nilai pada institusi lokal dan komunitas masyarakat di Desa, baik konteks konflik sosial, ekonomi, budaya, agama hingga politik. Hal ini penting untuk melindungi masyarakat Desa terutama perempuan dan kelompok rentan dalam berbagai gejolak pembangunan dan gejolak sosial.
4. Apakah hambatan dan tantangan yang Anda hadapi dalam upaya pencegahan konflik dan memastikan keterlibatan perempuan di dalamnya? Bagaimana cara Anda mengatasi hambatan tersebut?
Saya pikir hambatan terbesar dalam pencegahan konflik yang memastikan keterlibatan perempuannya di dalamnya adalah, pertama: memastikan perempuan memilikki KESADARAN POLITIK DAN KEKUATAN MENTAL, hal ini akan mendorong perempuan untuk berani mengartikulasikan kepentingan dan mampu mengorganisir diri serta kelompoknya dalam sebuah upaya kolektif, kedua, AKSES pada pendidikan teknologi dan ruang-ruang strategis masyarakat serta pemerintah untuk dapat memastikan perempuan dapat menyampaikan ide dan gagasannya dengan mengoptimalkan resource yang dimilikinya
3. Seberapa jauh program-program pencegahan di dalam RAN P3AKS diimpelentasikan di tempat anda?
· Bagaimana Anda menilai kesesuaian antara subtansi pencegahan konflik dengan kebutuhan di komunitas Anda?
Menurut saya dalam tahapan implementasi pada kebutuhan kelompok, upaya pencegahan RABP3AKS harus diperkuat dengan melihat konteks masalah dan potensi lokal yang ada di setiap komunitas.Jadi, dalam memitigasi konflik dan segala jenis kerentanan yang terjadi, kita berangkat dari masalah bersama yang ada di masyarakat, terutama kelompok perempuan, ada proses pemetaan, identifikasi masalah hingga penggalian potensi yang partisipatif dan inklusif.
· Bagaimana koordinasi yang terjalin antar pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan konflik?
Jika melihat dari kacamata konflik sosial yang berakar karena masalah ekonomi dan pembangunan, saya melihat bahwa seringkali masih ada gap antara kebijakan atau pendekatan pemangku kebijakan dalam memahami dan menjembatani konflik yang terjadi di masyarakat. Seringkali bahkan konflik tersebut terjadi karena dipantik oleh konflik2 yang muncul akibat kebijakan itu sendiri, misalmya pada konteks pandemic kita lihat r kebijakan ealokasi Dana Desa sebetulnya telah menimbulkan berbagai gesekan sosial dan menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat. Atau, pada hal lain misalnya soalnya pendirian izin pembangunan yang berpotensi mengancam ruang penghidupan masyarakat, lagi-lagi peran pemangku kebijakan yang harusnya menjembatani namun malah memiliki keberpihakan pada pihak selain masyarakat, katakanlah korporasi misalnya. Ketika ini terjadi maka perempuan dan anak-anak adalah pihak yang akan paling merasakan dampak, misalnya saat pembangunan harus menggusur sawah, masyarakat kehilangan mata pencaharian, suami yang tadinya menjadi petani tidak memiliki keahlian lain, sang istri akhirnya harus bekerja ke kota menjadi buruh pabrik, adanya pergeseran pola ekonomi dan relasi rentan pada potensi konflik dalam keluarga hingga bisa menyebabkan konflik keluarga, bahkan kdrt.
· Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dan/atau komunitas untuk mendorong perubahan norma, persepsi dan pranata sosial yang mengarah pada perlindungan perempuan dan anak?
· Apakah ruang-ruang perjumpaan antara yang berbeda semakin banyak muncul di kota Anda sehingga masyarakat lebih sering berinteraksi?
Mengenai ruang perjumpaan, ini saya lihat dalam konteks ruang perjumpaan lintas iman, sekarang sudah semakin marak berbagai forum hingga kampanye2 positif yang menebarkan perdamaian di tengah perbedaan, dan tentu saja mendorong rasa saling menghargai dan respek. Namun, menurut saya belum mengarah pada perlindungan anak dan perempuan, karena adanya ruang tersebut juga belum mampu meredam adanya kelompok2 yang masih cenderung suka melakukan provokasi atau memecah dengan narasi perbedaan.
· Bagaimana pemanfaatan dana desa dalam pencegahan konflik dan mendorong keterlibatan perempuan? Apakah ada potensi sumber-sumber pendanaan untuk mendukung program pencegahan konflik?
Ini menarik saya kira, bagaimana Desa dapat berperan sangat signifikan dalam mengembagkan institusi lokal yang mampu mencegah konflik dan melibatkan peran perempuan, artinya Dama Desa bukan hanya bisa dimanfaatka untuk mitigasi bencana alam, tapi juga bisa dimanfaatan untuk mitigasi konflik sosial. Ketika melihat bagaiamana potensi Dana Desa dalam pencegahan konflik, kita juga harus melihat bagaimana Desa dapat memperkuat dan merawat institusi lokal dan komunitas masyarakatnya, baik institusi agama, budaya, ekonomi, sosial maupun politik karena dari situlah internalisasi nilai perdamaian dan mitigasi konflik bisa dirintis secara alami
· Apa isu-isu krusial yang perlu diperhatikan dalam pencegahan konflik sensitif gender?
Menurut saya penceegahan konflik yang sensitive gender harus diarusutamakan dalam perspektif pembangunan di Desa, setidaknya dimulai dari komunitas terkecil seperti dasawisma misalkan, adanya kewenangan Desa untuk memperkuat institusi lokal dalam hal pencegahan konflik tentu sangatlajh krusial, upaya kolektif masyarakat harus kolaboratif dengan inisiatif dan kebijakan progressif pemangku kebijakan, terutaam di tingkat Desa.
2. Bagaimana upaya pencegahan konflik dilakukan di tempat Anda?
Secara spesifik, di wilayah tempat saya dibesarkan hingga kuliah (Bandung), saya tidak mengetahui upaya spesifik apa yang ada untuk memitigasi konflik, tapi sepemahaman saya, kekuatan institusi sosial masyarakat atau berbagai gerakan kolektif yang terwujud dalam aktivitas keagamaan, budaya hingga kepemudaan menjadi salah satu ruang bonding atau ruang solidaritas yang mampu memperkuat kebersamaan, terutama bagi masyarakat Desa yang masih sangat kaya dengan institusi sosial dan berbagai aktivitas komunual serta gerakan kolektif lokal yang mampu membentuk kearifan. Namun, tantangan modernisasi dan terutama proses peralihan pola konsumsi, pergeseran mata pencaharian,pembangunan dan globalisasi bisa membuka peluang konflik itu terjadi.
· Apa saja kerentanan sosial, ekonomi dan politik yang Anda analisis berpotensi menyebabkan konflik di tempat Anda? Sejauh mana kapasitas masyarakat dapat mengelola kerentanan yang ada?
Salah satu kerentanan sosial, ekonomi, dan politik di sekitar saya yang berpotensi menjadi konflik adalah adanya tantangan pembangunan dan industrialisasi tadi, peralihan masyarakar agraria ke masyarakat industry karena dampak pembangunan modern sebetulnya sangart rentan dengan konflik, contohnya saja dengan adanya pembangunan yang mengintervensi atau merampas ruang penghidupan masayrakat. Atau masuknya perusahaan dan investror yang menguasai sumber-sumber produksi dan memonopoli pasar, menjadikan masyarakat terutaama perempuan sebagai budak pembangunan. Hal ini rentan menciptakan ketidakadilan dan membentuk ketimpangan dalam masyarakat. Alih-alih mewujudkan kesejahteraan, adanya industrialisasi barbar dan hanya berorientasi kepada ekonomi dan cuan akan meminggirkan kepentingan masyarakat Desa dan Ekologis. Di tengah kerentanan pembangunan tersebut, kapasitas masyarakat dalam membentengi diri dari hantu pembangunan berkedok oligarki sebenarnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan institusi lokal dan demokrasi lokal di wilayah itu sendiri, namun hal itu juga tidak terlepas dari peran pemerintah kota/pemerintah daerah dalam memberikan kewenangan bagi Desa dan masyarakat untuk dapat menjadi subjek berdaulat yang mampu tumbuh dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang mereka miliki. Namun, tantangan di era modern yang menyebabkan masyarakat semakin konsumeris dan adanya peralihan relasi memang rentan membuat adanya kondisi masyarakat yang terpecah akibat munculnya kepentingan-kepentingan ekonomis yang mendahului kepentingan lainnya. Hal inilah yang juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal antar masyarakat, karena adanya pergeseran nilai, relasi dan kepentingan.
· Bagaimana keterlibatan perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya dalam upaya-upaya pencegahan konflik di tempat Anda?
Perempuan memliki peran yang sangat penting untuk merawat harmonisasi sosial,ekonomi, hingga ekologis. Salah satu upaya nyata yang saya kagumi, (tidak di tempat saya) adalah bagaimana perjuangan para perempuan petani di Pegunungan Kendeng untuk berjuang secara kolektif mempertahankan hal-haknya atas tanah dan kekayaan SDA nya yang akan dirampas oleh korporasi. Di tengah gejolak dan dinamika pembangunan yang akan merusak alam, perempuan mampu melihat secara jernih betapa proses pengerukan kekayaan bumi yang hanya sesaat akan melahirkan penderitaan dan kesengsaraan yang berlipat, dan menyiksa anak cucu di masa depan. Kekuatan perempuan yang terorganisir dan kesadaran politik para perempuan kendeng untuk dapat mengartikulasikan kepentingan kolektif di tengah kepentingan pembanguann segelintir kelompok adalah sebuah upaya penyelamatan dmn pencegahan pada berbagai bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial yang mungkin akan marak terjadi di masa depan, jika kita terus menggerus gunung dengan rakus. Hal ini meningatkan saya pada perjuangan Vandhana Shiva di India yang melakukan gerakan Chepko bersama para perempuan Himalaya untuk dapat menyelamatkan hutan mereka dari penebangan besar-besaran. Dalam kacamata ecofeminisme, perempuan dan lingkungan adalah dua elemen yang tidak pisahkan, keduanya mampu menjadi penopang sekaligus kunci atas stabilitas nilai yang mampu menyelamatkan peradaban dari kerusakan dan kehancuran sosial dan kehancuran ekologois. Perempuan dan lingkungan adalah sebuah kolaborasi ekonomi perawatan, bukan ekonomi penghancuran apalagi ekonomi penindasan, terutama para perempuan petani dan perempuan adat perawat hutan, sungguh besar jasa mereka untuk menyelamatkan kita dari segala bencana alam dan sosial.
Bagaimana anda melihat sistem pencegahan konflik adaptif terhadap perkembangan radikalisme dan kekerasan extremisme?
Saya melihat bahwa masih kurangnya sistem tersebut untuk dapat menyentuh dan melindungi para perempuan di Desa dan Perdesaan serta perempuan di pinggiran kora-kora besar, terutama para perempuan petani, perempuan adat dan perempuan buruh-buruh pabrik. Ada relasi kuasa yang erat mencengkram para perempuan dalam hal penguasaan sumber-sumber produski dan sumber ekonomi. Tantangan ekstimisme dan radikalisme juga menurut saya semakin rentan dan parah akibat adanya tantangan kerentanan ekonomi, sosial , pendidikan,rendahnya kesadaran politik, serta lemahnya kekuatan institusi lokal. Maka, sistem pencegahan konflik tersebut dalam arti luas harus diintegrasikan ke dalam kelembagan lokal dan komunitas mulai dari lingkungan Desa bahkan mungkin pedukuhan atau kampung.
Assalamualaikum Wr Wb. Perkenalkan sebelumnya saya Dinda Ahlul Latifah atau Ahlul dari Perempuan Penyala. Terimakasih sudah memberikan saya kesempatan untuk bisa bergabung dalam forum ini, terutama di Ruang Diskusi 1. Mohon maaf sebelumnya karena baru bisa memberikan pendapat di batas-batas akhir waktu review karena beberapa hal. Tapi semoga bisa tetap memberikan manfaat dan energy baik untuk proses yang digagas oleh kawan-kawan AMAN Indonesia dan semua pihak yang peduli dan concern pada issue perdamaian dan perempuan. Saya akan mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara runut.
1. Apa saja dampak konflik sosial yang pernah Anda alami? Secara khusus bagaimana dampak konflik pada perempuan dan anak-anak (termasuk remaja) serta kelompok rentan lainnya?
Sebelumnya saya lahir dan dibesarkan di Bandung sampai saya lulus kuliah, selama tinggal di Bandung saya tidak pernah secara langsung bersentuhan dengan konflik sosial karena kondisi lingkungan yang cukup “kondusif”. Namun, saya pernah bersentuhan dengan kelompok rentan yang menjadi korban penggusuran lahan oleh salah satu BUMN di Bandung, penggusuran tersebut terjadi akibat pembangunan yang dilakukan tanpa melakukan upaya dialogis dan cenderung represif, sehingga masyarakat pinggiran kota menjadi korban dan terpusar dalam pusaran konflik sosial bersama korporasi dan pemerintah kota. Beberapa korbannya tentu saja adalah anak-anak dan para perempuan yang kehilangan ruang bermain hingga ruang penghidupan. Selain itu, hal berkesan bagi saya soal adalah perjumpaan saya dengan kawan-kawan minoritas , perempuan dan kelompok rentan lainnya terjadi pada forum atau komunitas kepemudaan, terutama forum atau komunitas lintas iman. Saya beberapa kali terlibat dalam kegiatan dan aktivitas bersama kawan-kawan yang berasal dari kelompok minoritas agama dan kelompok rentan yang seringkali termajinalkan dan terpinggirkan , saya mendengar langsung bagaimana mereka mengalami konflik sosial dan dikucilkan serta diekslusi dari masyarakat karena “perbedaan agama”. Salah satu kawan perempua menceritakan bagaimana ia dan keluarganya harus terusir dari kampungnya dan dipaksa pindah serta “relokasi” bersama komunitas agamanya ke sebuah bangunan tua/ bangunan bekas (saya lupa tepatnya bangunan apa), mereka tinggal di Kota Mataram, NTB. Teman perempuan saya ini mengalami dan merasakan langsung konflik yang terjadi karena sentiment perbedaan agama, konflik tersebut terjadi saat ia masih anak-anak, dan sekarang ia telah tumbuh menjadi dewasa (seusia mahasiswa), dan masih tinggal di tempat relokasi bersama keluarga dan komunitas agamanya. Di tempat itulah ia akhirnya tumbuh dan besar, dalam segala keterbatasan dan pengalaman pahit akan penolakan dan bahkan pengusiran dari kampungnya sendiri. Namun, hal yang saya kagumi dari dirinya dan komunitasnya adalah, ketika saya bertanya “Apakah kamu dendam? Apakah kamu marah? Apakah kamu menyesal?” Ia kemudian menjawab. “Dulu, saya pernah marah. Tapi kini kami sudah menerima, kami sudah mencoba berdamai. Tidak ada rasa dendakm..kami ingin mencoba kembali hidup berdampingan bersama masyarakat disekitar dan melupakan kejadian pahit masa lalu” Jawaban darinya membuat saya sangat takjub, kawan saya seorang perempuan tangguh dengan pemikiran yang sehat serta jiwa yang kuat. DIbalik kelapangan hatinya untuk “Memaafakan masa lalu” saya rasa ada peran kuat orangtua, keluarga dan komunitasnya untuk menginternalisasi nilai-nilai damai dan nilai-nilai kebaikan soal memaafkan dan menerima.. Tanpa internalisasi nilai dan solidaritas yang saling menguatkan di dalam komunitas kelompok tersebut, mustahil dapat dengan mudah memaafkan bahkan bangkit dalam keterpurukan, bahkan secara sosial dan psikologi mereka masih dipinggirkan hingga kini. Kekuatan dan dukungan dari komunitasnya juga membuat teman saya terus berjuang untuk sekolah dan meraih impiannya, ia tercatat menjadi salah satu mahasiswi di sebuah kampusdi wilayah ia tinggal.(Sampai saya menulis ini saya belum tahu kabar terbaru teman saya, apakah dia masih berada di tempat relokasi bersama keluargnyanya, atau sudah pindah ke tempat yang lebih layak)
halooo siang ini saya kembali menengok bilik yang baru pulih…
apa yang akan saya tulis ya?
saya akan coba menulis pengalaman perjalanan hari hari saya belakangan ini, melewati jalanan dimana pada lokasi strategis seperti pertigaan, perempatan dan pada semua tempat dimana terdapat papanpapan reklame raksasa yang kosong terpampang poster ajaib dari salah satu ormas dengan naratif yang sangat provokatif dan ancaman vulgar bagi yang berani rusak atau lepaskan poster dimaksud.
dalam setiap pemasangan spanduk, banner tentu saja harus ada perijinan dari dinas perekonomian daerah setempatatau siapapun yang berwenang. yang umumnya tertera pada pojok spanduk atau banner. lebih jelas lagi saat saya lakukan perjalanan ke suatu wilayah untuk lakukan pembebasan pemasungan, hampir di setiap susut kota dan kilometer tertentu terpampang spanduk serupa, bahkan dengan naratif yang lebih keras dan tentu saja provokatif.
dalam durasi hari, pekan dan mungkin bulan terjadi pembiaran atas beredarnya poster poster raksasa dengan ujaran ujaran yang mengarah pada intoleransi beragama mengindikasikan bahwa negara melakukan pembiaran, bahkan cenderung permisif.
masyarakat yang membaca sekali, dua kali dan seterusnya akan terus merekam dibawah sadarnya ujaran dan ajaran yang tertera dalam poster dimaksud. disimpan dalam memori jangka panjang dan melembaga, mendarah daging dalam mainstreamnya diyakini sebagai kebenaran.
pembiaran pembiaran yang terus menerus secara sistemik akan menyuburkan kembali benih benih dan akar akar anti toleransi beragama, radikalisme. menjadi percik percik perpecahan masyarakat yang mengarah pada konflik sosial yang dikhawatirkan juga melembaga pada masyarakat yang juga diwariskan pada generasi muda.
pada beberapa medsos poster serupa juga beredar ditunjang film ajaib tentang jejak peradaban khilafah yang sudah sangat jelas tidak berdasar pada kajian sejarah dan analisis yang benar. benruntung bagi generasi muda di UI yang miliki landasan yang kuat dan wadah berbagi dan berdiskusi sehingga bisa berpikir kritis menyikapinya. lalu bagaimana dengan para mahasiswa dan generasi muda lain yang tidak miliki bkal memadai dalam menyikapinya? atau juga generasi lanjut yang didoktrin dengan sangat mudah propaganda khilafah? pastinya sangat memprihatinkan.
di fisip ui saya menemukan kanalnya. di tempat tempat lain saya tidak temukan. semoga kita dapat segerakan diskusi upaya penceghan konflik dalam bentuk faktual upaya pencegahan yang sesungguhnya. semoga
Selamat datang kembali peserta diskusi Ruang I Konsultasi Digital Nasional Review RAN P3AKS (2014-2019). Saya Sentiela Ocktaviana akan kembali menjadi moderator utama pada minggu terakhir ini dan akan dibantu oleh Ibu @101 . Ruang diskusi dapat diakses untuk tujuh hari ke depan (25 Agustus-31 Agustus 2020). Oleh karena itu, sekali lagi kami mengundang rekan-rekan untuk kembali berpartisipasi dalam diskusi, terutama rekan-rekan yang belum berkesempatan berkontribusi pada minggu2 sebelumnya. Kami memanggil Bapak/Ibu/Saudara/i @210 @211 @220 @222 @294 @86 @282 @208 @64 @207 @158 @169 @118 @232 @263 @229 @256 @235 @271 @296 @179 @ @31 @172 @113 @114 @291 @259 @45 @115 @202 @297 @281 @285 @38 @94 @227 @276 @117 @250 @178 @306 @308 @309 .
Kami berharap rekan-rekan dapat menjawab pertanyaan pemantik diskusi setelah menyaksikan video diskusi panel.Partisipasi Bapak/Ibu pada ruang diskusi sangat bermakna bagi proses review yang sedang kami lakukan.
Terima kasih dan selamat berdiskusi.
Salam,
Sentiela
Selamat sore, Saya Khosiah, LKP3A PW Fatayat NU Jawa Timur, berikut adalah ajwaban saya:
1a.Yang saya pahami pingin belajar islam.kecewa dengan kondisi indonesia intine gak teropeni.sikap acuh tak acuh antar tetangga.
b. Pendekatan oleh kelompok radikal yg intens dalam meyakinkan ajarannya.kemudian tidak ada supplay informasi lain sebagai pembanding.kelompok radikal lebih ngopeni sasarannya
2. Dampaknya belum terpenuhi hak perempuan dan anak.kemudian paling mudah jadi korban seperti bom di surabaya .untuk menjauhkan diri maka perempuan dan anak diberi ruang memahami Indonesia dan belajar dr lingkungan dg kepedulian sesama disekitarmya
3. Membuat komunitas pengajian rutin namanya kiswah female di perumahan sebagai permintaan dan bentuk ngopeni ibu ibu yg butuh memahami agama islam .merespon dari kondisi perumahan tersebut yg ada kelompok pengajian danbternyata isinya mengajak membunuh orang non muslim
4.Kurang efektif …model sonergitas tidak di jalankan sehingga masyarakat bergerak sendiri.pemerintah bergerak sendiri dg formalitas acara acaranya. Terutama yg di daerah menyangkut hak korban kurang bisa terfasilitasi karena merasa belum ada kewenangan yg jelas
5. Dengan RAN P3AKS maka ada gambaran para stakeholder untuk berbuat dalam rangka pencegahan eksteimisme
6. Mereka itu menguasai dunia maya.jadi penguatan radikalisme nya bisa jadi lebih cepat menyebar
dengan para korban pelnggararan ham berat masa lalu dan kini terkait terorisme bom jakarta, surabaya, medan yogya. khususnya jakarta masih berhunubfab dengan baik dan sering diunang untuk diskusi. pada masa pandemi covid, menjembatani untuk dapat memperoleh bantuan keluarga terdampak covid senilai 500.000@ orang untuk sejumlah 64 orang korban bom yang terpapar dampak covid 19. bantuan bantuan yang semestinya jika melihat regulasi yang ada sesuai undang undang harusnya dilakukan lembaga perlindungan saksi dan dan korban LPSK RI namun faktualnya hanya disaat awal saja dilakukan. pendampingan yang semestinya dilakukan atau dijejaringkan pada para pengada layanan, diabaikan. pada akhirnya harus menggedor kementerian sosial untuk dapat berikan bantuan. ketiadaan para pekerja sosual atau responsif pendampingan para korban jg memerlukan perhatian. pendekatan hukum tidak dapat dilakukan sepenuhnya. karena lpsk bukan hanya merupakan lembaga yang semata lakukan advokasi hukum, tapi juga termasuk organisasi sosial, dimana SDM didalamnya terlatih dan memiliki empati pada para korban. rumah aman yang dibanggakan akan menjadi sumber strssor bagi korban, jika hanya faktor keamanan semata dan pemenuhan kebutuhan fisik (pangan, papan, keamanan). karena para korban adalah human being dimana sebagai entitas hidup memerlukan pendampingan pada masa sulit. bukan hanya dampinan hukum semata.
penggunaan bpjs untuk para korban pelanggaran ham berat juga bukan merupakan kebijakan yang responsif pada korban. menempatkan para korban pelanggaran ham berat pada posisi masyarakat biasa yang bukan korban. atau hak haknya telah dilanggar dan diabaikan negara.
terkait dengan kasus ahmadiyah Lombok ,29 orang, peroleh layanan medis, psikologis dan psikososial yang masih serba terbatas. perkembangan terakhir :
pemda setempat berupaya tuk memberikan tempat tinggal yang layak, namun negoisasi dengan pihak ahmadiyah berlangsung alot dan kadang buntu. sampai dengan saat ini komunikasi saya dengan para korban berjalan baik. tidak dapat intervensi bantu maksimal. setidaknya dapat saling mengharhgai dan mendoakan
saya baca juga pada anak anak korban konflik, saya berharap akan adanya perhatian lanjut dimana hak hidup, timbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi atas masa depan dapat dipenuhi dengan baik.
mohon maaf, berusaha maksimal untuk dapat terus masuk, namun terkendala jadwal yg ajrut ajrutan akhrnya anglsup.
bagiam mana yang belum saya jawab ya mba? berasanya sudah ngerjain semuanya deh hee…
untuk membaca ulang secara keseluruhan sudah diniatin malam minggu lalu, terkendal sistem dan lalu kantuk mendera dan begitu rungsingnya rumah akhirnya baru sore ini dapat membuka kembali.
satu hal yang menarik terkait analisis mba tentang kasus talangsari. pelanggaran ham berat masa lalu dan pada wilayah lain. saya menyampaikan prihatin. sempat saya pelajari kasusnya, saya buka file dari komnas ham terkait pengesyahan posisi mereka sebagai korban, menghubungkan dengan sistem sumber yang dapat memberikan bantuan pada para korban seperti dinas sosial propinsi lampung dan jajaran. menyampaikan harapan dan pemahaman pada direktorat PSKBS kementerian sosial RI, agar dapat memberikan bantuan. satu hal yang sebelumnya belum pernah diprogramkan dan dianggarkan. karena selama ini sebatas membaeikan bantuan pada para mantan combatan dan eks napiter nya saja. sementara korbannya tidak diberikan bantuan. karena sesuai dengan UU No 31 Tahu2014, yang berhak memberikan bantuan medis, psikologis, psikososial adalah LPSK. yang entah karena sesuatu hal hanya memberikan bantuan medis dan psikologis itupun hanya sesekali saja. atas dasar itulah lakukan pendekatan pada dinas sosial propinsi untuk dapat keluarkan rekomendasi pada 11 orang korban, agar bantuan usaha ekonomi produktif dapat dipenuhi @ 5 jut. bantuan keserasian sosial 150 juta dan yang akan datang pembangunan jalan menuju makam patra korban. untuk bantuan medis mekanisme awal adalah bantuan reguler dimana korban dapat menggunakan fasilitas pengobatan medis seusi dengan rumah sakit terdekat dan sesuai dengan korban. namun selanjutnya lpsk menerapkan kebijakan untuk menggunakan bpjs dengan menunjuk rumah sakit yang terikat mou dengan lpsk. keharusan penggunaan bpjs itu menempatkan korban sebagai masyarakat umum. tidak atau kurang berikan penghormatan pada korban sebagai korban dari pelanggaran ham berat, dimana pemerintah memeberikan prioritas layanan. inilah satu hal yang semestinya diperbaiki. saya berharap meski tidak lagi bekerja disitu lagi. program serupa dapat dikembangkan di wilayah lain dengan kualitas korban pelanggaran ham berat masa lalu yang belum terakomodir hak haknya, terpenuhi hak haknya sebagai korban pelanggaran ham berat masa lalu.
Selamat pagi kawan-kawan Peserta Review Nasional RAN P3KS di Ruang 1 tentang Pencegahan Konflik dan Keterlibatan Perempuan. Saya, Suraiya Kamaruzzaman akan kembali bersama kawan-kawan untuk menjadi moderator pada konsultasi minggu ke 4 ini dan tetap akan didampingi oleh Mbak @105 . Berdasarkan rencana awal, minggu ini merupakan minggu terakhir Review RAN P3KS, untuk itu kembali saya mengundang semua untuk memanfaatkan kesempatan terakhir secara optimal. Kami percaya, seluruh pengalaman, pengamatan, analisa dan data yang diberikan kawan-kawan akan memberikan manfaat besar untuk perbaikan RAN P3AKS selanjutnya.
Bagi kawan-kawan yang belum berkesempatan merespon di minggu sebelumnya, kami sarankan untuk menonton Vidio terlebih dahulu, membaca summary minggu 1, 2 dan 3, baru menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di laman di atas. Akan sangat membantu, jika kawan-kawan bersedia menjawab pertanyaan satu persatu.
Saya undang @38 , @94 , @86 , @113 , @114 , @115 , @64 , @116 , @91 , , @117 , @118 , @210 , @211 , @207 , @208 , @202 , @213 , @211 , @227 , @271 , @232 , @235 , @250 @256 , @158, @45 @169 , @172 , @178 , @179 , @259 , @263 .
Saya tunggu respon kawan-kawan semua di ruang ini 😊 
Salam,
Suraiya Kamaruzzaman
lama enggo tengok tengok, kerna jadwal saya masih ajrut ajrutan. alhamdulillah sudah ramai sekali, moga mnggu ini saya dapat lebih rajin berkonsultasi. malu juga sudah disediakan pendamping yang hebat hebat dan fasilitas luar biasa sayanya masih jg ngetem kaya angkot/ salam
Pengalaman saya di waktu kecil yang tak akan pernah terlupakan adalah saat terjadi konflik sosial di Talang Sari (waktu itu orang-orang menyebutnya Gerakan Mujahidin Way Jepara), kehidupan keseharian kami sangat mencekam meskipun tempat itu jauh dari tempat tinggal kami di Kecamatan Purbolinggo. Saat itu kami jadi ketakutan setiap hari, tidak berani pergi ke sawah/ladang sendirian, berangkat dan pergi sekolah dengan perasaan takut, dan tidak bisa bebas bermain bersama teman-teman. Kalau sedang berada di rumah pintu selalu kami tutup rapat-rapat, apalagi saat bapak tidak ada di rumah, semakin mencekam.
Saat berada di luar rumah, kami yang masih anak-anak dibuat semakin takut dengan obrolan orang dewasa tentang kerusuhan yang sangat menyeramkan, tentang perang, tembakan, pembunuhan, penggunaan srnjata panah, pokoknya semua serba menakutkan.
Kejadian itu sudah lama berlalu, keadaan berubah. Kini sudah tidak ada lagi konflik bersenjata seperti itu. Pemerintah dan masyarakat sama-sama berisaha melakukan berbagai upaya pencegahan dengan berbagai cara. Pemda dengan program perlindungan terhadap perempuan dan anak, dialog antar pemuka agama, peningkatan penjagaan keamanan dengan melibatkan masyarakat langsung di bawah binaan bhabinkamtibmas. Organisasi keagamaan (Islam)melakukan dengan pengajian dengan muatan kerukunan sosial dan kemanusiaan.
Namun demikian bukan berarti tidak ada potensi konflik sosial di daerah Lampung Timur dan mungkin juga di daerah-daerah yang lain di Indonesia. Kondisi ekonomi masyatakat yang timpang, perbedaan pilihan politik dan kesenjangan perlakuan antara kelompok mayoritas pemenang pemilu dan menoritas sangat berpengaruh menimbulkan konflik baru. Kondisi ini saat ini masih berupa kasak-kusuk atas ketidakadilan dan kolusi antara penguasa lokal dengan para pendukungnya, jika dibiarkan tentu akan berubah menjadi sebuah konflik besar.
Sebatas pengamatan dan pengalaman saya belum ada alokasi anggaran dati dana desa yang riil digunakan untuk upaya pencegahan konflik sosial. Apalagi dalam situasi pandemi covid-19 ini justru semakin nyata kemanfaatan dana desa untuk golongan tertentu, utamanya keluarga aparat desa dan para pendukung kepala desa. Justru kekecewaanlah yang terjadi di masyarakat karena jauh dari kata “adil”.
Selamat datang rekan-rekan dalam ruang diskusi 1 “Pencegahan Konflik dan Keterlibatan Perempuan”. Saya, Sentiela Ocktaviana, kembali menjadi moderator utama dan didampingi oleh Ibu @101 selama diskusi seminggu ke depan. Terima kasih kepada Ibu/Bapak peserta diskusi yang sudah berpartisipasi selama dua minggu terakhir @91 @116 @213 @271 @306 dan @86 , kami berharap rekan-rekan menyempatkan diri untuk kembali melanjutkan diskusi di ruang ini hingga 16 Agustus 2020. Kami juga mengundang rekan-rekan dari berbagai kalangan dan latar belakang untuk memberikan kontribusi secara langsung melalui ruang diskusi ini, @38 @94 @ @113 @114 @115 @64 @ @117 @118 @210 @211 @207 @202 @208 @227 @232 @235 @250 @256 @158 @45 @178 @179 @259 @263 . Kami percaya bahwa setiap pengalaman, data, pendapat, saran, dan kritik yang Anda sampaikan dalam ruang diskusi ini sangat berharga bagi proses review RAN P3AKS 2014-2019 yang sedang berjalan.
Kami menyarankan Anda untuk menyaksikan video diskusi panel ruang 1 sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan pemantik diskusi di laman ini. Anda dapat menjawab seluruh pertanyaan secara berurutan atau menjawab pertanyaan yang relevan dengan pengalaman Anda. Mohon menyertakan poin pertanyaan ketika menjawab.
Rekan-rekan juga dapat mengakses rangkuman diskusi minggu pertama dan kedua pada thread komentar (pinned comment).
Kami menantikan partisipasi Anda.
Terima kasih dan Selamat berdiskusi.
Salam,
Sentiela
Salam Damai buat kawan-kawan semua
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk bersama-sama mendiskusikan upaya perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik sosial, khususnya dalam aspek/pilar pencegahan.
Hal mendasar yang perlu didiskusikan sejak awal adalah apakah “Pilar Pencegahan” dalam RAN P3AKS dimaksudkan untuk “membahas pencegahan konflik” atau “upaya dini meminimalisir potensi dan mencegah terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam situasi konflik” ? menurut hemat saya, dua hal ini memiliki lingkup dan cakupan yang berbeda. upaya pencegahan terjadinya konflik sosial menjadi ranah RAN Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial, sedangkan upaya memeberikan perlindungan dan mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam situasi konflik sosial menjadi ranah RAN P3AKS.
diluar itu semua, beberapa Isu menarik yang perlu mendapat perhatian dalam upaya memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak agar tidak menjadi korban atau justru pelaku yang berpotensi menimbulkan konflik adalah masalah Intoleransi dan maraknya prilaku penyebaran berita bohong (HOAKS) dan ujaran kebencian. menurut saya sikap intoleran merupakan sumber utama munculnya prilaku radikal dan bahkan tindakan-tindakan teror yang melampaui batas-batas kemanusiaan. basis pendidikan dalam keluarga (keagamaan dan kebangsaan) menjadi bagian penting yang perlu mendapat perhatian penting dalam RAN P3AKS ke depan. fokus pada upaya membangun generasi milenial yang toleran dan berbudaya menjadi prioritas penting ke depan.
terkait dengan early warning system, khususnya dalam upaya memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak sampai saat ini masih belum dilakukan secara optimal. masalah basis data terkait potensi perempuan dan anak, khususnya di wilayah-wilayah rawan konflik masih belum sepenuhnya tertata dengan baik, penerapan EWS tanda didukung data terpilah terkait potensi perempuan dan anak sepertinya akan mempengaruhi kualitas kebijakan dan intervensi pembangunan yang akan dilakukan.
sementara ini dulu beberapa masukan dari saya, moga berkenan.
Perempuan dan perempuan muda memang rentan menjadi korban dalam konflik dan terorisme. Keadaan ini erat kaitannya dengan keterbatasan perempuan dan perempuan muda dalam mengakses informasi. Keterbatasan ini pun menjadikan perempuan dan perempuan muda lebih mudah didoktrin dengan topeng ajaran agama.
Dari pengalaman pendampingan yang kami lakukan, banyak perempuan muda (remaja/usia anak) yang menikah dengan alasan untuk bukti ketaatan pada agama, dan ironisnya beberapa justru menikah dengan laki-laki yang ternyata terlibat dalam terorisme.
Akhirnya, saat sang suami berhadapan dengan hukum, perempuanlah yang menanggung segala beban dalam hidup, baik ekonomi, maupun beban psikologis.
Bagaimana ini bisa terjadi, tentu saja ada banyak faktor yang mempengaruhi, baik kultural, sosial maupun struktural. Secara kultural memang perempuan ditempatkan sebagai makhluk nomor dua yang posisi tawarnya rendah. Secara sosial perempuan juga selalu dijadikan obyek permasalahan, minim ruang untuk mengekspresikan ide/gagasan. Secara struktural juga banyak aturan-aturan negara yang mendiskriminasi perempuan.
Karena itu, untuk mencegah jatuhnya korban baru maka penting melakukan upaya bersama yang saling mendukung antar komponen tersebut. Negara harus serius melakukan upaya pencegahan melalui berbagai lembaganya yang harus saling bersinergi, karena masalah ini adalah masalah yang kompleks, tidak berdiri sendiri.
testimoni:
“sangat membahagiakan dan bangga, berada dalam pusaran diskusi konsultasi digital Nasional Review RAN P3AKS. bagaimana para perempuan bergerak bersama dalam satu tujuan kemanusian”
Assalam wr wb, selamat malam dari bogor menyapa, setelah mgap ngapan pakai masker seharian di ruang tertutup hee…
akhirnya kelar juga ini pr yang bagi saya rasanya ajaib banget, dimana dengan suka rela saya dapat menuliskan dan bertutur tanpa paksaan dan tekanan hee mentornya keren keren ya…
terkirim materi jawaban semoga dapat bermanfaat.
salam hangat,
lmm
Selamat pagi.
Selamat datang buat kawan-kawan Peserta Ruang I Konsultasi Digital Nasional Review RAN P3AKS (2014-2019) untuk minggu ke-dua.
Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibu @213 , Ibu @91 , Ibu @116 dan Ibu @271 yang telah membagi pengalaman dan pengetahuannya selama konsultasi di minggu pertama. Informasi ini sangat bermanfaat dan menjadi kerangka awal kita dalam proses konsultasi. Mbak Sentiela telah men-summary dengan sangat baik dan kembali di posting di sini. Pagi ini, kami kembali mengundang Ibu ber-empat untuk memberikan inforamsi tambahan, jika ada hal-hal yang dianggap penting dan terlupakan disampaikan di minggu pertama. Kami juga mengundang kawan-kawan lain yang belum berkesempatan untuk memberikan responnya pada minggu pertama. Di minggu kedua ini, saya, Suraiya Kamaruzzaman akan bertindak sebagai moderator utama, tetapi selama diskusi berlangsung saya tetap didampingi oleh Mbak @105
Buat teman-teman yang baru hadir di minggu ini, sebagai pemantik diskusi, di laman ini terdapat beberapa pertanyaan yang kami harap dapat dijawab oleh peserta. Beberapa pertanyaan, juga sudah mendapat jawaban dari proses diskusi di minggu pertama. Beberapa pertanyaan yang perlu mendapat tambahan elaborasi dari kawan-kawan diantaranya:
1.Bagaimana proses rehabilitasi korban konflik di tempat Anda?
2.Sejauh mana perjanjian damai/ Instruksi Gubernur/atau kebijakan lainnya
efektif mencegah terjadinya konflik terulang kembali di tempat Anda?
3.Sejauh mana perempuan dan kelompok rentan lainnya terlibat dalam perencanaan dan pengelolaan dana desa dan menerima manfaat program dari dana desa, terutama terkait dengan upaya pencegahan konflik di tingkat desa?
4.Adakah program peningkatan kapasitas perempuan untuk terlibat dalam upaya pencegahan konflik dengan memanfaatkan dana desa di tempat Anda? Jika ada, seperti apa programnya?
Sebelum kawan-kawan menjawab pertanyaan, terutama yang baru mulai ikut diskusi di minggu ini kami sarankan untuk menonton video panel ruang diskusi I terlebih dahulu serta membaca summary di minggu pertama. Kawan-kawan dapat mengakses ruang konsultasi ini kapan saja selama sebulan ke depan. Jangan lupa, silahkan ikut hadir di ruang 5 dan memberikan rekomendasi-rekomendasi penting tentang RAN ini untuk perbaikan ke depan.
Selamat berdiskusi.
Terima kasih.
Salam,
Suraiya Kamaruzzaman
Salam hangat rekan-rekan, terima kasih atas partisipasinya.
Tanpa mengurangi rasa hormat, kembali kami ingatkan kepada rekan-rekan untuk menonton terlebih dahulu video diskusi panel yang terdapat pada laman ini sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di bagian pengantar diskusi. Rekan-rekan dapat menjawab seluruh pertanyaan atau pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan pengalaman rekan-rekan.
Selamat berdiskusi.
Terima kasih.
Salam,
Sentiela
Nila Wardani – RUMPUN Malang
Pandangan saya, di kabupaten Malang ada konflik masyarakat terkait kepemilikan lahan. Yang agak keras biasanya karena klaim kepemilikan oleh masyarakat (atau sekelompok orang) dengan suatu institusi negara (contoh: TNI) atau Perusahaan swasta. Masyarakat sebagaimana dalam banyak kasus lainnya bereda pada pinam yang tidak kuat, karena tidak terorganisir dan kelemahan tersedianya bukti, sehingga tidak cukup kuat bila diselesaikan secara litigasi.
Perempuan tidak terlalu dilibatkan dalam proses negosiasi atupun apalagi saat berkonflik secara terbuka. Namun sejatinya perempuan memiliki peran yang penting dan kepentingan akan lahana sangat krusial. Laki-laki biasanya pergi keluar daerah secara musitan, nah dalam kendisi ini, perempuan biasanya yang bertanggungjawab. Ketika konflik kepemilikan, posisi masyarakat semakin lemah juga karena ini.
Perempuan memiliki pengetahuan yang relatif rentant mangenai pentingnya bukti2bukti fisik dan aturan hukum. Penguatan dan pengorganisasian perempuan termasuk cara bernegosiasi merupakan salah satu cara menghindari konflik (termasuk konflik fisik) yang berkepanjangan.
Ada pula konflik horisontal yang potens terjadi di masyarakat. Semakin langkanya sustu sumberdaya menjadikan amsyarakat bisa tersulut konflik. Misalnya sumberdaya air, yang aida beberapa wilayah di kabupaten Malang menjadi semakin sulit. Di tinkt masyarakat hal ini bisa memicu conflit yang berkepanjangan dan tirai bisa dianggap hanta sebagai perseteruan antar warga. Kelangkaan sumberdaya air, memiliki kaktan erat dengan proses-proses pembanguan yang lain. Misalnya alim fungsai lahana dan kebijakan pembangunan infrastruktur (fisik) lainnya yang marak di tingkat desa.
Bila masyarakat dese dan peemrintah tidal memiliki mekanizme menyelesaian dan meÅŸihat akar masalar, akan menjadi summer kolik sosial. Dalam kendisi ini, laki-laki mungkin bisa memiliki pilihan untuk beralih profesi dan menghidarkan diri dalam keterlibatan konflik terbuka dengan keluar desa. Namun kondisi ini tidak mudah bagi perempuan yang hares tinggal di desa. Seringkali perempuan tijdvak Hanna menaggung beban tambahan secara ekonomi, namun juga menghadapi reais sosial dengan anggota masyarakat lainnya secara disharmoni (distigma, dikucilkan, dll). Anak-anak pun demikian,
Ini tanya kasus. Secara umum, masyarakat dan pemerintah belum memiliki mekanisme pencegahan konflik yang sistematis. Bahwa konflik juga beragavam bentuk, dampak dan implikasinya dalam kehidupan yang luas, juga belum dipahami secara mendalam dan komprehensif. Bila ini tidak dipahami, maka akan suit melakukan identifikasi jenis bahkan potensi konflik yang terajdi di masyarakat; dan pada gilirannya menjadi dasar mengembangkan desain dan rencana pencegahan konflik. Pemerintah juga sedikit sekali melibatkan parapihak melakukan dialog pentingnya hal ini. Bisa dianggap pemerintah dan sebagian masyarakat belum memandang potensi konflik secara kritis (bisa dikatakan tidak peka).
Perlu dibangun kepekaan atau sensitivitas terhadap ‘konflik’. Perlu pelibatan para pihak untuk identifikasi potensi dan menggali mekanisme resolusinya. Perlu ada resolusi berbasis masyarakat, dna juga mekanisme formal yang dibangun oleh lembaga formal.
Identifikasi dan pays pencegahan perlu melibatkan perempuan secara aktif. Baik lewat organisasi perempuan yang ada di amsyarakat, atau suatu bentik gerakan yang dibangun secara khusus intuà hal ini. Perlu juga dicari terminologi yang bisa diterima masyarakat secara baik dan tidak menimbulkan konotasi negatif (semacam konflik) untuk membangun kepekaan ini. Misalnya membangun harmoni, meskipun tujuannya perlu dikemukakan secara terbuka.
Mekanisme pencegahan konflik secara formal dengan lembaga formal harus terindiaksikan dalam rencana aksi daerah dengan tim yang jelas, mekanisme oerja dan tanggungjawab dan ukuran keberhasilan yang jelas, serta didukung dengan anggaran yang bisa dipertanggungjawabkan. Tim ini terdiri dari parapihak, termasuk masyarakat dan perwakilan perempuan. Renaca aksi ini bila perlu diterjemahkan dalam rencana aksi di tingkat yang lebin rendah, misalnya kelurahan/desa.
sembari di jalan saya coba lanjut ya mba,
Seberapa jauh program-program pencegahan di dalam RAN P3AKS diimpelentasikan di tempat anda?
saya tinggal di kota bekasi, di pecinan. dua hari ini saya coba masuk ke lingkungan pemda kota bekasi. ngpbrol terkait kearifan sosial, disharmoni, resosialisasi pasca konflik dan bantuan sosial. program ini tersebar di beberapa kelambagaan dan parsial menyatu dengan program program lain. belum ada program spesifk. jadi saya titipkan upaya penanganan anak positif HIV di bekasi, yang terlantar pengasuhan kerna meninggalnya ke dua orang tua dan tidak ada yang merawat dan dapat mengakses pendidikan. KPAD dan Dinas Sosial agar dapat berjejaring dalam menyelesaikan.
Bagaimana Anda menilai kesesuaian antara subtansi pencegahan konflik dengan kebutuhan di komunitas Anda?
belum ada, masih bersifat reaktif atas permasalahan sosial yang masuk.
ini dulu ya mba…
terimakasih salam
maaf terputus mba, sembari kerja ini…saya coba lanjut ya,
peristiwa penyerbuan vanimo (perbatasan papua dan PNG tp telah masuk PNG,. oleh GPK, dimana pada usia belasan tahun (19) harus menyaksikan hasil pembantaian dari ke dua belah pihak bersiteru. lumayan sangat berdampak, merubah cita cita menjadi wartawan perang, dan sampai dengan sekarang menghindari tempat pemotongan hewan, penyembelihan qurban, los dan kios daging dan menghindar jika kena wajib belajar bongkar pasang senjata hee…masih sangat tidak nyaman. meski pulang dari papua waktu itu sempet ikuti terapi pemulihan. –>konflik sosial budaya politik –>tidak nyaman
usia dewasa:
terlibat dalam beberapa penelitian bersama mas irwanto univ atmajaya terkait anak jalalan, anak anak yang dilacurkan, LGBT dan HIV/AIDS mengantarkan pada pemahaman tentang labeling, stigmatisasi, diskriminasi dan alienasi pada kelompok marginal beserta konflik konflik internal dan eksternal di dalamnya, lanjut penyusunan thesis tentang perilaku sosial penderita HIV AIDS di jabodetabek, secara parsipatoris, yang acapkali jg disangka ODHA sehingga memperoleh perlakuan diskriminatif. setidaknya jadi memaknai bagaimana rasanya menjadi mahluk yang terpinggirkan hanya kerna melekat label sebagai ODHA. menjadi konselor bagi kucing (pelacur lelaki untuk lelaki) dan berada dalam ragam jenis orientasi seksual juga memunculkan tanggapan dan sikap yang juga beragam dari masyarakat.
kembali bekerja sebagai ASN di sebuah lembaga, menerima dan mendampingi kelompok Slamet, Sempalan dalam agama Islam, Ketapang Kalimantan Barat dalam sistem panti, bertemu dengan teman sekolah s1 yang telah dibaiat sebagai pengikut dan salah satu petinggi disitu, mengantarkan pada penghargaan atas keberagaman beragama dan kepercayaan.
penyusunan disertasi sekian lama menggunakan ethografi, tinggal dan mukim bersama komunitas keluarga anak kombatan, lanjut penelitian selama pasca tsunami dalam pengungsian mengantarkan pada perjumpaan-perjumpaan dengan teman teman sekolah yang bertumbuh menjadi separatis dengan alasan tertentu. dieterima dalam ritual peusejuk menjadikan pemahaman sisem nilai budaya aceh menjadi lebih sarat makna dalam memahami sejarah panjang kekerasan aceh.
bekerja di bidang isu perindungan hak hak anak, kemudian lebih fokus pada anak disabilitas dan terakhir lepra, beralih pada isu narkotika dan lembaga perlindungan saksi dan korban menjadikan isu kemanusiaan lebih terasah. khususnya dalam memahami tentang tindak pidana pelanggaran ham berat masa lalu dan masa kini. beberapa kasus tindak pisdana terorisme dan radikalisme mengenalkan kembali parda para korban bom jakrata, bali surabaya medan yang beberapa masih belum terfasilitasi kelanjutan hidupnya. talangsari lampung, Priok, islam Jamaah Mataram kembali membuka mata hati akan isu kemanusian, keberagaman beragama dan kepercayaan. Berada di ICRP bersama prof Musdah Mulia dan para pemuka agama lain mendiskusikan tentang konflik yang bersumber dari bagaimana memaknai kehidupan beragama ( makna, Pentingnya KB dlm demokrasi Indonesia, Faktor pendukung upaya penegakan hak KB, Upaya konkret ke depan utk pemenuhan hak KB).
secara khusus bagaimana dampak konflik pada perempuan dan anak-anak (termasuk remaja) serta kelompok rentan lainnya?
anak dan perempuan termasuk dalam kelompok rentandan rawan terppar tindak kekerasan dalam situsi konfkik sosial dan bersenjata, anak dan perempuan termasuk memiliki kelenturan dalam menyikapi konflik sosial yang terjadi diseputarnya. karena harus segera bangkit untuk dapat bertahan hidup dan juga menghidupi anak dan keluarganya. mencari tempat tinggal dalam pengungsian. anak anak jg memiliki resiliensi yang lentur, setelah beberapa waktu mengalami ptsd ( post traumatic stress disorder), menjalani therapi umumnya akan kembali bertumbuh kembang dengan baik. bagi anak anak yang mengalami ptsd dan tidak terfasilitasi melalui terapi, maka akan bertumbuh dengan kecenderungan menjadi banal da binal.
lanjut usia, ibu hamil dan menyusui, disabilitas juga termasuk dalam kelompok rentan dan rawan yang harus dilindungi dan memerlukan perlindungan khusus dalam situasi konflik sosial dan bersenjata.
Bagaimana upaya pencegahan konflik dilakukan di tempat Anda?
saya tinggal waktu anak anak di komplek pemukinan tinggalan belanda dengan beragam budaya dan agama. diajarkan ibu dan bapak menghargai pembedaan, perbedaan latar sosek, agama dan budaya. besar di lingkungan pecinan dan saat ini jg memilih tinggal dan mukim dilingkungan beragam ragam. upaya praktis? ya mengajarkan multiculturarisme sejak anak usia dini, mengenalkan perbedaan dan pembedaan atas sistem nilai budaya (termasuk agama)agar tdk ethnosentris, dan dapat menghargai keberagaman dengan nyaman. kecenderedungan yang paling kenceng saat ini adalah upaya menerakan tatanan sistem nilai budaya dan adab arab yang dikaitkan pada agama (mengatur cara berpakaian), hal ini menimbulkan segregasi harmoni dalam bertetangga.
upaya lain? awal pandemi covid 19, adanya larangan penggunaan sarana beribadah masjid, yang bernjut pada tarawih dan sholat ied. hal ini dilanggar dan memunculkan keresahan masyarakat. jalan keluarnya memasang baliho kesepakatan untuk bersama menjalin harmoni sosial.
Apa saja kerentanan sosial, ekonomi dan politik yang Anda analisis berpotensi menyebabkan konflik di tempat Anda? Sejauh mana kapasitas masyarakat dapat mengelola kerentanan yang ada?
masalah yang berkecenderungan munculkan konflik adalah tentang agama. masa-masa terjadi gerudukan 212 dari darah daerah menuju monas, saya dan para tetangga muslim lain tia tiba diminta menyiapkan kamar, per makanan dan bekal bagi mereka. saya berkeberatan karena saya single parent dengan satu anak gadis yang keberatan menerima kehadiran para pria tidak dikenal masuk dalam rumah. jika memang telah berniat untuk melakukan aktifitas tertentu, artinya jg harus mempersiapkan segala sesuatunya sehingga tidak lagi menyulitkan pihak lain untu mensuportnya, karena belum tentu semua orang akan menyetujui heee tentunya disampaikan dengan manis manis…
masalah lain, tentang medsos, wa group dimana acapkali adanya kecenderungan kutipan kutipan hadis yang misoginis banget. yang juga memunculkan perdebatan dan perpecahan. tidak dapat ikut berkomentar kerna wag tersebut sifatnya hanya untuk informasi komunitas kecil RT saja, dan bukan pada tempatnya beradu pendapat dalam wag sempit. yang saya lakukan ya mengundangnya dalam diskusi webinar dimana topik bahasan tentang hadis misoginis.
Bagaimana keterlibatan perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya dalam upaya-upaya pencegahan konflik di tempat Anda?
ada wadah RT RW yang dapat difungsikan dalam menyelesaikan permasalahan internal, namun kurang dapat berfungsi. lebih mengarah pada peneyelesaian masalah kependudukan, pajak.
idealnya anak dan perempuan dilibatkan secara aktif dalam mengakses perencanaan, ikut terlibat secara aktif dalam mengeksekusi dan mengevaluasi dan mengontrol atas kemanfaatan program dimaksud bagi kepentingan terbaik bagi anak dan perempuan.
Bagaimana anda melihat sistem pencegahan konflik adaptif terhadap perkembangan radikalisme dan kekerasan extremisme?
bersama dengan para mantan combatan radikal dan eks napi teroris mendiskusikan beragam permasalahan dan bantuan terkait kontra radikalisme, deradikalisasi dan terorime. melakukan berbagai pendekatan hulu hilir pada kantong kantong pemukiman kampung halaman para napiter dan eks napiter dengan membangun struktur dan infrastruktur sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut. menstimuli upaya keberdayaan masyarakat terdampak agar dapat menerima kembali keberadaan para mantan napiter, memberikan suporting para para napiter, mensejahterakan keluarga para napiter dan mantan napiter termasuk masuyarakat meluasnya. sehingga tidak ada lagi kecemburuan bahwa pada keluarga napiter dan eks napiter saja yang diperhatikan.
sudah pukul 16. waktunya saya mengajar dulu ya mba… semoga dapat berlanjut, masih bnayk ini pr nya

selamat siang mba suraiya dan sentiela,
terimakasih telah diingetin atas pr yang harus saya kerjakan, diskusi melalui webinar lalu juga saya langsung inget atas pr yang saya harus kerjakan hee…saya coba satu satu menjawabnya ya, sembari mengingat ingat kapan dan dimanya lokusnya. kerna saya lebih cenderung menjadi pengamat dan bekerja bersama anak anak korban konfik sosial dan bersenjata. terakhir mengamati kombatan anak di poso dan ambon, dan disertasi saya habiskan di aceh tentang dukungan ekologi anak anak (diantaranya combatan), yang berada dalam situasi darurat, di era transisi perlindungan hak hak anak.
Apa saja dampak konflik sosial yang pernah Anda alami? Secara khusus bagaimana dampak konflik pada perempuan dan anak-anak (termasuk remaja) serta kelompok rentan lainnya? saya coba kronologinya dari masa anak, remaja dan dewasa.
masa anak:
kali pertama berada dalam pusaran konflik saat anak-anak, menyaksikan teman teman sebaya di komplek rumah dan sekolah menangis dan mogok sekolah diejek sebagai anak PKI kerna ayahnya tidak pulang berada dalam tahanan. pertemanan tidak berubah, kerna orang tua juga menyampaikan jika harus tetap bermain dan belajar bersama teman teman yang ayahnya harus “merantau”, istilah itu yang digunakan bapak saya waktu itu menjelaskan fenomena tindak pidana pelanggaran ham berat masa lalu tersebut, kerna mayority para om-om ayah dari teman sebaya dimaksud ditahan tanpa adanya persidangan terlebih dahulu. hal ini saya pahami setelah tumbuh dewasa dan sempat bererja pada lembaga perlindungan hak saksi dan korban, dan kembali menjalin pertemanan dengan teman teman masa kecil yang telah tumbuh dalam beragam profesi diantaranya menjadi pendeta, romo. –> aman
remaja:
terkait dengan kerusuhan sosial, kasus tindak pidana pelanggaran ham berat tanjung priok, dimana beberapa diantaranya adalah tetangga diseputar rumah di kelapa gading, dimana saat itu saya tinggal dan mukim. saat itu saya tidak yahu persis apa yang terjadi. hanya kemudian tidak diijinkan menggunakan fasilitas masjid dekat rumah, fasilitas pendidikan tk dan madrasah juga terhenti total. besyukur ditumbuhkan dalam keluarga yang mengakomodir perbedaan dan pembedaan dalam beragama dan berkeyakinan, secara rutin saya diminta ibu untuk mengumpulkan bantuan sumbangan bahan pangan dari lingkungan dan mengantarkan pada keluarga-keluarga yang kehilangan kepala keluarganya. mengajak bermain anak-anaknya yang harus berhenti sekolah, demikian berlangsung beberapa tahun secara langsung belajar tentang bagaimana kearifan sosial,merekatkan kembali disharmoni sosial, menyelenggarakan bantuan dukungan sosial dan rekonsiliasi pasca konflik. –> aman
pengalaman bekerja di bidang lingkungan hidup di papua, terjebak dalam baku tembak di vanimo lumayan berdampak pada
Bagaimana Anda melihat kerangka kerja pencegahan konflik dengan keterlibatan perempuan dijalankan dalam konteks Pandemic Covid 19? Selain pandemic apakah Anda melihat isu-isu baru yang penting untuk diperhatikan pemerintah dan non pemerintah dalam konteks pencegahan konflik di masa depan?
Kalau saya melihat belum ada kerangka kerja pencegahan konflik di masa pandemi. Pemerintah sampai sekarang fokus ke pencegahan dan penanganan tehadap masyarakat yang terkena wabah. Itupun lebih banyak pada penanganan medis dan fisik (kebutuhan pokok). Penanganan yang sifatnya psikologis dan mental belum menjadi perhatian. Padahal ini penting dan signifikan dalam mencegah terjadinya konflik sosial. Stress, kekhawatiran dan ketakutan personal bisa berkembang menjadi kolektif dan itu sangat potensial menyulut konflik sosial. Dampak-dampak dari pandemik yang sifatnya fisik (ekonomi dan sosial) dan psikologis (mental dan spiritual) harus menjadi perhatian besar pemerintah dan non pemerintah dalam pencegahan konflik. Selain itu, isu politik (pilkada, RUU PKS, dll), isu pendidikan, isu kesenjangan sosial dan pengangguran, dan isu keberagaman (agama, etnis) menjadi isu-isu penting ke depan dalam konteks pencegahan konflik sosial.
Demikian dari saya.
Terima kasih banyak atas kesempatannya untuk memberikan review di ruang ini. Silakan kalau ada komentar atau pertanyaan.
Salam, Wiwin Siti Aminah Rohmawati (Co-Founder Srikandi Lintas Iman, Dosen pendidikan Multikultural di IAID Ciamis, Wakil Direktur Institute of Southeast Asian Islam UIN Sunan kalijaga Yogyakarta dan Pengurus FKUB Provinsi DIY)
Apakah hambatan dan tantangan yang Anda hadapi dalam upaya pencegahan konflik dan memastikan keterlibatan perempuan di dalamnya? Bagaimana cara Anda mengatasi hambatan tersebut?
Hambatan yang saya lihat secara internal di kalangan perempuan sendiri belum ada kesadaran luas tentang pentingnya peran perempuan dalam upaya pencegahan konflik. Hal ini disebabkan masih bekerjanya budaya patriarki di masyarakat bawah dimana gender role perempuan masih dikotakkan di wilayah domestik dan konflik dilihat sebagai urusan publik. Tantangan lainnya adalah perempuan belum diberi ruang cukup di dalam institusi-institusi yang berfungsi untuk mencegah konflik, baik di institusi pemerintah maupun non pemerintah, termasuk dalam institusi-institusi keagamaan. Misalnya di FKUB yang mempunyai peran strategis dalam pencegahan dan penyelesaian konflik sosial, ada gap yang menganga antara perempuan dan laki-laki. Lembaga-lembaga penting masih sangat maskulin sehingga suara perempuan tidak terdengar, pengalaman dan gagasan perempuan tidak terakomodasi dan peran mereka tidak terlihat. Dalam pencegahan konflik, sifat-sifat feminin (yang lebih banyak dimiliki perempuan) sangat dibutuhkan dan menjadi kunci. Padahal sesungguhnya peran perempuan sangat krusial dan central dalam pencegahan konflik, dimulai dari level keluarga, komunitas dan masyarakat secara umum.
Secara personal cara saya mengatasi hambatan tersebut dengan dua cara:
Menurut pengamatan saya, belum terjalin koordinasi yang baik antar pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan konflik. Berbagai upaya sudah dilakukan terutama oleh masyarakat sipil melalui LSM dan para tokoh agama, tokoh masyarakat perempuan dan akademisi dalam mendorong perubahan norma, persepsi dan pranata sosial terkait dengan perlindungan perempuan dan anak. Tetapi hasilnya belum maksimal karena saya kira budaya patriarkhi masih cukup kuat berakar di masyakarat.
Ruang-ruang publik yang memungkinan masyarakat dari berbagai latar belakang berjumpa dan saling berinteraksi menurut saya cukup terbatas dibandingkan kebutuhan dari masyakarat Yogya yang semakin banyak dan heterogen. Bahkan ruang-ruang publik yang sudah ada pun saya menyaksikan dalam beberapa tahun ini banyak yang diubah fungsinya menjadi perumahan misalnya.
Beberapa isu krusial dalam pencegahan konflik sensitif gender:
a. Ekonomi: Pembangunan hotel, kondo dan apartemen yang sebagian mendapatkan penolakan dan perlawanan dari masyarakat sekitar, pelumpuhan/penggusuran kelompok ekonomi kecil, konflik pembangunan bandara NYIA, dll.
b. Sosial: Segregasi sosial (perumahan khusus muslim, kompleks pemukiman kelompok khusus, kos-kosan khusus muslim, tidak menerima kos-kosan untuk orang Papua, dll)
c. Politik: Pilkada (politisisasi agama, dll)
d. Isu terkait KBB: Pendirian rumah ibadah, pemakaman penghayat, pembubaran ritual keagamaan atau tradisi/budaya leluhur, dll
Dalam konteks formal, mereka belum banyak dilibatkan dalam upaya-upaya pencegahan konflik terutama dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi, sebagai bagian dari masyarakat sipil mereka terlibat aktif dalam melakukan pencegahan dengan berbagai upaya dan karya. Misalnya tidak sedikit perempuan yang terlibat aktif dalam LSM yang bergerak di bidang resolusi konflik, pemberdayaan perempuan, pluralisme dan dialog antariman. Banyak juga akademisi, dosen dan peneliti perempuan yang menyuarakan nilai-nilai perdamaian dan anti kekerasan serta melakukan advokasi kebijakan. Sementara untuk anak-anak dan kelompok rentan lainnya (kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah, Syiah, penghayat dan LQBT) sangat jarang dilibatkan. Akan mereka biasanya terlibat menjadi bagian dari berbagai program yang diinisiasi oleh LSM dan perguruan tinggi.
Saya melihat belum terlalu adaptif. Dalam pengamatan saya, masyarakat Yogyakarta secara umum cukup terbuka terhadap perbedaan atau semua kelompok masyarakat. Saya kira salah satunya juga dipengaruhi oleh statemen Sri Sultan yang beberapa kali menyatakan bahwa semua kelompok bisa tinggal dan hidup di Yogya, asal tidak melakukan kekerasan. Sehinggal kelompok2 radikal pun bisa tumbuh berkembang. Sementara itu saya melihat daya tahan sosial (resiliensi) masyarakat juga tidak kuat dalam menyaring paham-paham radikal atau ekstrim. Akan tetapi di beberapa wilayah di Yogyakarta, khususnya di level dusun, sistem pemolisian masyarakat sudah berjalan baik, dengan adanya FKPM (Forum Komunikasi dan Pemolisian Masyarakat) yang selalu melakukan koordinasi untuk mendeteksi dan mencegah konflik dan kekerasan.
Apa saja dampak konflik sosial yang pernah Anda alami? Secara khusus bagaimana dampak konflik pada perempuan dan anak-anak (termasuk remaja) serta kelompok rentan lainnya?
Secara personal saya tidak pernah terlibat langsung dengan konflik sosial. Akan tetapi di wilayah saya di DIY, konflik sosial terjadi beberapa kali dalam bebrapa tahun terakhir ini,khususnya terkait dengan isu keberagaman (agama, etnis, LGBTQ dan lain-lain), temasuk penyerangan terhadap rumah ibadah, pesantren waria, orang-orang Papua, dll. Dalam penyerangan terhadap gereja Bedog misalnya, perempuan dan anak-anak menjadi korban penyerangan tersebut, baik secara fisik maupun psikis. Mereka mengalami ketakutan dan trauma. Demikian juga penyerangan terhadap pesantren waria di Kotagede jelas sekali menyisakan penderitaan dan trauma bagi teman-teman LGBT sebagai kelompok rentan. Beberapa tahun lalu juga terjadi perkelahian/tawuran antar sekolah SMA dan klithih (penyerangan oleh remaja terhadap siapa saja yang dimaui). Dalam konteks ini perempuan, anak-anak dan remaja menjadi korban.

Selamat datang rekan-rekan peserta Ruang I Konsultasi Digital Nasional Review RAN P3AKS (2014-2019).
Kami mengucapkan terima kasih atas partisipasi rekan-rekan dalam ruang konsultasi ini.
Saya Sentiela Ocktaviana bertindak sebagai moderator utama pada minggu ini. Selama diskusi berlangsung saya didampingi oleh Ibu Suraiya Kamaruzzaman yang juga akan memberikan respon apabila diperlukan.
Peserta diskusi berasal dari berbagai latar belakang seperti penyintas, pegiat perdamaian, pemerintah, dan akademisi. Oleh karena itu, kami mengharapkan partisipasi aktif dari rekan-rekan sekalian. Melalui konsultasi ini kami berharap mendapatkan gambaran relevansi, efektifitas, efisiensi, dampak dan keberlanjutan dari implementasi RAN P3AKS dalam konteks pencegahan konflik dan keterlibatan perempuan; mengidentifikasi hambatan dan tantangan dalam membangun sistem pencegahan konflik yang melibatkan perempuan dan anak; dan mendapatkan gambaran isu-isu penting dalam pencegahan konflik yang melibatkan perempuan dan anak.
Sebagai pemantik diskusi, di laman ini terdapat beberapa pertanyaan yang kami harap dapat dijawab oleh peserta. Namun sebelum rekan-rekan menjawab pertanyaan kami sarankan untuk menonton video panel ruang diskusi I terlebih dahulu. Rekan-rekan dapat menjawab semua pertanyaan secara berurutan atau menjawab pertanyaan yang dianggap relevan dengan pengalaman rekan-rekan. Rekan-rekan dapat mengakses ruang konsultasi ini kapan saja selama sebulan ke depan.
Apabila rekan-rekan mempunyai pertanyaan seputar jalannya konsultasi ini, silakan menghubungi saya atau Ibu Suraiya. Terkait bantuan teknis rekan-rekan dapat menghubungi admin melalui tautan berikut ini https://wps-indonesia.com/bantuan/permasalahan-teknis/.
Selamat berdiskusi.
Terima kasih.
Salam,
Sentiela