05
RUANG
Perempuan, Perdamaian dan Keamanan & Perempuan Pembela HAM
Neny Agustina Adamuka
Short biography moderator 01
Fina Nihayatul Mazziyah
Short biography moderator 01
- Deskripsi
Adopsi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Women, Peace & Security (WPS) di Indonesia merupakan bentuk komitmen Indonesia pada agenda global untuk mempromosikan inklusi perempuan dalam perdamaian dan keamanan. Resolusi 1325 dikontekstualisasikan dalam Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3AKS) dan Permenko PMK No. 6 dan 7 tahun 2014 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) P3AKS dan Pokja P3AKS. Saat ini, Indonesia memasuki fase kedua implementasi dengan memperhatikan sejumlah isu baru diantaranya adalah partisipasi anak muda, praktik intoleransi, literasi digital, sumber daya alam, sebagai upaya membangun koneksi dengan sejumlah regulasi yang berhubungan dengan penanganan keamanan dan perdamaian perempuan.
Sebagai negara kedua di ASEAN yang menjalankan agenda global WPS, Indonesia dinilai berhasil menjaga proses pelaksanaan RAN P3AKS secara inklusif dengan keterlibatan masyarakat sipil. Review Digital RAN P3AKS tahun 2020 yang diselenggarakan oleh AMAN Indonesia memberikan catatan kritis tentang pentingnya sarana dan prasarana implementasi RAN P3AKS seperti perbaikan koordinasi lintas aktor, keberadaan alat monitoring dan evaluasi, pembiayaan yang efektif, dan capacity building aktor pemerintah.
Sayangnya, meskipun bahasa P3AKS dikenali oleh banyak aktor, tetapi justru di ranah konflik sumber daya alam, kebebasan beragama, dan situasi keamanan Papua, penggunaan framework ini tidak ditemui. Sejumlah kasus kekerasan dan konflik masih terjadi. Catatan KOMNAS Perempuan 2023 tentang Kekerasan terhadap perempuan ranah negara meliputi kasus-kasus perempuan berkonflik dengan Hukum, menemukan 39 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh Anggota POLRI / TNI, dan 7 kasus kekerasan pada pembela HAM yang dilaporkan.
Di ranah kebebasan beragama, berekspresi dan otonomi pribadi, Human Rights Watch melaporkan bahwa ada 70 dari 120 peraturan wajib jilbab masih berlaku di Indonesia. Beberapa pegawai negeri sipil perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen universitas, meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri karena tekanan, kehilangan pekerjaan atau merasa terpaksa mengundurkan diri karena wajib jilbab.
Koalisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Indonesia melaporkan kasus pelarangan pendirian rumah ibadah di Aceh Singkil dan Bogor. Kasus penodaan agama diantaranya; Kasus Lina Mukherjee, yang mengunggah video ia makan kerupuk babi, dimulai dengan “Bismillah” menuai protes dan berakhir diperkarakan secara hukum; kasus Okin Flia, perempuan berjilbab ketat, ia menjilat es krim di depan kemaluan seorang laki-laki menjadi viral, meskipun tidak diperkarakan tapi dianggap melanggar kesopanan publik; Kasus perempuan berada di bagian depan saat sholat, di pesantren Panji Gumilang, pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun.
Laporan monitoring kasus terorisme berjudul “Ekstrimisme, Daur Kekerasan dan Kompleksitas Penanganannya: Temuan di Balik Tragedi Lembantongoa Sigi”, memberikan rekomendasi negara untuk memaknai ulang security dari perspektif korban perempuan. Sayangnya pada bulan Desember 2023, pemantauan kami mengkonfirmasi bahwa para korban masih dalam trauma berat, dan semakin miskin, karena terpaksa harus pindah jauh dari kebunnya.
Komitmen pemerintah Indonesia terus dimonitor oleh sejumlah mekanisme HAM, salah satunya Review terbaru komite ICCPR. Sejumlah organisasi seperti TAPOL, Franciscans International, AJAR (Asia Justice and Rights), PWG (Papuan Women’s Working Group), CIVICUS and FORUM-ASIA mendorongkan agar pemerintah Indonesia merespon pengungsi internal dengan membuka akses agensi internasional untuk bantuan kemanusiaan, memberikan perlindungan pada pembela HAM dari pelecehan, intimidasi, serangan dan kriminalisasi, serta membuka ruang sipil agar semua orang bisa bekerja untuk perbaikan Papua.
Komite CEDAW dalam “Concluding observations on the eighth periodic report Indonesia” merekomendasikan tiga hal yaitu:
Melawan impunitas pelaku kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) yang tidak diadili atau tidak diberikan hukuman yang sesuai.
Memperkuat akses pada keadilan dan pemenuhan hak-hak korban; para korban KBGS di wilayah konflik tidak memiliki aksesi dukungan keuangan untuk akses hukum, reparasi dan hak pengungkapan kebenaran, dan lemahnya perspektif gender dalam penegakan.
Mengesahkan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sebagai payung hukum untuk menjalankan transitional justice untuk mencegah terjadinya keberulangan konflik.
- Pertanyaan Panduan
- Apa langkah konkret yang telah diambil oleh pemerintah untuk memastikan bahwa pelaku pelanggaran hak asasi manusia diadili tanpa pengecualian? Bagaimana upaya pemerintah dalam mematuhi standar internasional terkait penghapusan impunitas?
- Bagaimana sistem peradilan bekerja untuk perlindungan korban KGBS di konteks konflik? Apa langkah-langkah Indonesia memastikan korban dan penyintas KBGS di konteks konflik mendapatkan pemulihan jangka panjang dan komprehensif?
- Apa langkah konkret yang harus diambil oleh pemerintah untuk memastikan ratifikasi Rome Statute/Statuta Roma dan integrasinya ke dalam kerangka hukum nasional? Bagaimana ratifikasi akan memperbaiki sistem hukum nasional seperti RUU KKR dalam mengadili pelanggaran berat seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida?
- Diskusi & Tanggapan