04
RUANG
Ketenagakerjaan
Aida
Rumpun Gema Perempuan
Cahaya
Mitra Perempuan
- Deskripsi
Ketenagakerjaan
Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perempuan pekerja pada 2022 mencapai 52,74 juta di Indonesia. Jumlah pekerja perempuan itu setara dengan 38,98% dari total pekerja yang ada di Indonesia. Bidang pekerjaan formal terbesar yang melibatkan perempuan adalah tenaga usaha penjualan (28,44%). Selain itu, perempuan yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan sebanyak 24,6%. BPS mencatat pada tahun 2022, perempuan Indonesia yang bekerja menduduki level kepemimpinan hanya 0,78%. Selain itu, perempuan yang menjadi pejabat pelaksana, tata usaha dan sejenisnya sebesar 6,2% dari populasi (total) pekerja perempuan. Data ini mempelihatkan kesenjangan kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan akses atas pekerjaan yang layak dan menduduki jabatan-jabatan tinggi di struktur pengambilan keputusan baik di perusahaan publik ataupun kementerian/lembaga Pemerintah.
Di pabrik-pabrik, sistem kerja target sebagai salah satu faktor dominan yang menciptakan kondisi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, antara larangan untuk berobat ke klinik ketika sakit, haid, pembatasan jam istirahat, ruang kerja yang sempit dan tidak ergonomis, seta kondisi kerja yang tidak ramah buat perempuan hamil serta tidak ada fasilitas maternitas, ruang menyusui dan penitipan anak.
Diperlukan upaya untuk menaikkan kompetensi perempuan melalui peningkatan partisipasi, akses dan affirmative action perempuan dalam mendapatkan pendidikan adn pelatihan kerja yang setinggi-tingginya serta peluang yang luas bagi perempuan di dunia kerja.
Kondisi perempuan di sektor informal juga masih sangat memprihatinkan. Salah satu pekerjaan sektor informal yang paling banyak digeluti perempuan adalah pekerja rumah tangga (PRT). Sampai saat ini Indonesia masih belum mensahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) meski RUU ini telah diajukan ke DPR 20 tahun lalu dan telah disetujui oleh 9 Fraksi DPR untuk dijadikan RUU Inisiatif DPR pada Maret 2023 yang lalu. Enggannya anggota DPR untuk membahas RUU PPRT ini karena mereka beranggapan bahwa mereka akan kehilangan previllage apabila RUU ini disahkan menjadi UU. Mereka masih mempertimbangkan kepentinganya sebagai majikan daripada melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat yang salah satu tugasnya adalah membuat Undang-undang bagi masyarakat. Akibatnya PRT sampai sekarang masih berada dalam situasi kerja yang eksploitatif, menindas, serta penegasian pemenuhan hak atas kerja layak. PRT juga mengalami kekerasan dan diskriminasi berlapis sebagai perempuan, pekerja dan warganegara.
Kesimpulan Pengamatan Komite CEDAW
- Komite menyambut baik disahkannya UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran yang memuat mekanisme Pemberdayaan dan Perlindungan bagi Pekerja Migran dan keluarganya. Perlu juga diperhatikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang UU Ciptaker tidak mengubah atau mencabut hak-hak pekerja perempuan yang diberikan berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, Komite mencatat dengan prihatin:
(a) Jumlah perempuan pekerja yang sangat banyak di ekonomi sektor informal pada pekerjaan-pekerjaan dengan upah rendah dan dalam pekerjaan sementara dan paruh waktu, termasuk di perkebunan kelapa sawit, yang mempekerjakan perempuan dalam kondisi yang memprihatinkan tanpa perlindungan yang memadai dari eksploitasi; (b) Tidak adanya undang-undang komprehensif yang mendefinisikan dan secara efektif melarang kekerasan dan pelecehan berbasis gender, termasuk pelecehan seksual, di tempat kerja;
(c) Masih adanya kesenjangan upah berdasarkan gender di Negara Pihak dan kurangnya peraturan perundang-undangan yang menjamin prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang bernilai sama;
(d) Pengecualian perempuan sebagai pemegang hak dari ruang lingkup UU No. 7/2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam, UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
(e) Fakta bahwa perempuan pekerja rumah tangga, termasuk perempuan pekerja migran, dan khususnya perempuan yang berkonflik, menghadapi risiko kekerasan berbasis gender yang lebih tinggi, kekerasan dan diskriminasi; lambatnya pengesahan Undang-undang untuk melindungi pekerja rumah tangga, termasuk ratifikasi ILO 189; Konvensi Pekerja Rumah Tangga Organisasi Buruh (ILO), 2011 (No. 189); dan terbatasnya penerapan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran;
(f) Tidak adanya informasi yang jelas dan terkini mengenai perempuan dengan disabilitas di dunia kerja, dan tantangan signifikan yang dihadapi perempuan dengan disabilitas, serta isu-isu khusus yang dihadapi perempuan penderita kusta saat mengakses lapangan kerja yang bermakna dan berkelanjutan;
(g) Beragam interpretasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang secara tidak proporsional dapat mempengaruhi penghidupan dan pekerjaan perempuan, termasuk perlindungan upah untuk lembur, perlindungan dari pemutusan hubungan kerja, dan hak-hak perempuan untuk cuti berbayar karena Undang-undang pengupahan yang baru.
Komite merekomendasikan agar Negara Pihak:
(a) Memperkuat langkah-langkah untuk menghilangkan segregsi pekerjaan horizontal dan vertikal dan meningkatkan akses perempuan terhadap pekerjaan formal, mendorong perempuan dan anak perempuan untuk memilih jalur karir non-tradisional, dan memprioritaskan transisi perempuan dari pekerjaan paruh waktu ke pekerjaan penuh waktu, dengan dukungan dari penyediaan fasilitas penitipan anak yang memadai dan mudah diakses;
(b) Merancang dan melaksanakan kebijakan publik untuk memperluas perlindungan sosial cakupan terhadap perempuan dalam situasi konflik dan perempuan dalam pekerjaan informal, khususnya mereka yang mempunyai pekerjaan bergaji rendah dan pekerjaan sementara dan paruh waktu;
(c) Mengadopsi dan menerapkan undang-undang yang komprehensif untuk mencegah dan merespon kekerasan dan pelecehan berbasis gender, termasuk pelecehan seksual di tempat kerja, dan membentuk mekanisme pengaduan independen untuk memastikan bahwa para korban mempunyai akses yang efektif terhadap pemulihan dan bahwa para pelaku ditahan dengan tanggung-gugat / akuntabel, termasuk dengan mengadili dan menghukum mereka yang bertanggung jawab, memastikan akses terhadap layanan kesehatan dan layanan penting lain, termasuk bagi perempuan migran.
(d) Secara efektif menegakkan prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang bernilai sama untuk mempersempit dan pada akhirnya menutup kesenjangan upah gender secara teratur, meninjau upah di semua sektor, menerapkan pekerjaan analis yang sensitif gender dengan metode klasifikasi dan evaluasi, melakukan inspeksi ketenagakerjaan secara teratur dan melakukan survei gaji secara berkala;
(e) Menjamin kenikmatan nyata bagi perempuan atas dasar kesetaraan dengan laki-laki berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam, UU No. 19/2013 tentang perlindungan petani dan pemberdayaan, serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
(f) Tanpa menunda lebih lama, (i) mengadopsi Rancangan Undang-undang tentang Pekerja Rumah Tangga, yang memberikan kondisi kerja yang setara dengan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan; (ii) meratifikasi Konvensi Pekerja Rumah Tangga ILO, 2011 (No. 189); dan (iii) menerapkan UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran; (g) Melaksanakan peningkatan kesadaran dan pelatihan di sektor publik dan swasta, kegiatan yang berkaitan dengan disabilitas, meningkatkan mekanisme dukungan untuk memastikan perempuan penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan yang berkelanjutan dan layak, dan mempublikasikan statistik terkini dan terperinci mengenai perempuan penyandang disabilitas di tenaga kerja;
(h) Menjamin perlindungan atas persalinan yang dibayar, menstruasi dan cuti menyusui, dan memastikan bahwa perempuan terlindungi dari tindakan kerja paksa, tidak dibayar jam lembur, meskipun terdapat perubahan pada peraturan jam lembur dan pengupahan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penciptaan Lapangan Kerja (Ciptaker).
Trafficking
Menurut Pasal 1 UU Nomor 21 Tahun 2007, TPPO atau Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang (UU) ini. Perdagangan Orang adalah PROSES, CARA dan TUJUAN yang meliputi tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Untuk korban ANAK tidak memerlukan unsur CARA, apabila sudah memenuhi unsur Proses dan Tujuan sudah bisa dikatakan sebagai TPPO. Korban TPPO adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
Bareskrim Polri melaporkan telah menginvestigasi total 24 kasus perdagangan orang sepanjang tahun 2021 – 8 kasus perdagangan seks dan 16 kasus perdagangan tenaga kerja yang melibatkan pekerja migran – berdasarkan UU PTPPO. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan 38 penyidikan yang dimulai pada periode pelaporan sebelumnya. Pemerintah menuntut 167 dugaan kasus perdagangan orang berdasarkan UU PTPPO dan menghukum 178 pelaku pada 2021 yang menunjukkan penurunan dari 259 pelaku yang dihukum pada 2020. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima 252 rujukan korban perdagangan orang dari kementerian/lembaga pemerintah dan LSM pada tahun 2021 dan memberikan layanan rumah perlindungan dan perlindungan keamanan kepada para korban. Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) juga menerima 1.082 rujukan korban dari beberapa kementerian, LSM, dan organisasi internasional. Kemensos merujuk 555 korban ini ke balai-balai rehabilitasi sosial milik pemerintah dan selebihnya ke LSM guna mendapatkan bantuan. (Laporan Tahunan Perdagangn Orang, US Embassy (2022).
Kesimpulan Pengamatan Komite CEDAW:
- Komite memuji Negara Pihak atas upayanya memperkuat kerangka hukum dan kebijakan untuk memerangi perdagangan perempuan dan anak perempuan, termasuk pembentukan satuan tugas Perdagangan Manusia. Namun demikian, Komite menyesalkan kurangnya informasi mengenai penegakan Undang-undang No. 21/2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan mengenai implementasi Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan Perdagangan Orang, termasuk tentang peningkatan jumlah korban jiwa. dan anggaran yang dialokasikan untuk Implementasi RAN ini. Yang mengkhawatirkan adalah tidak adanya standar sistem identifikasi dan rujukan dini, pemulihan dan bantuan reintegrasi bagi korban perdagangan orang, serta kurangnya pemahaman di kalangan polisi dan aparat penegak hukum lainnya mengenai prosedur sensitif gender dalam menangani korban perdagangan orang. Komite selanjutnya mencatat dengan prihatin tentang kurangnya informasi CEDAW/C/IDN/CO/8 21-17276 9/17 mengenai apakah Undang-undang No. 21/2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang mengkriminalisasi perdagangan anak dalam segala bentuknya, termasuk kawin kontrak dan wisata seks anak.
Komite merekomendasikan agar Negara Pihak:
(a) Mengatasi akar penyebab prostitusi, seperti kemiskinan struktural dan ketidaksetaraan gender, serta permintaan akan prostitusi, dan mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah masuknya perempuan dalam situasi rentan eksploitasi prostitusi, termasuk menyediakan akses bagi perempuan yang ingin keluar dari prostitusi dengan program pemerintah dan peluang adanya pendapatan alternatif.
(b) Menyelidiki dan mengadili kasus-kasus kekerasan berbasis gender dan diskriminasi terhadap perempuan dalam prostitusi, membawa pelaku ke pengadilan, dan menghilangkan stigma terhadap perempuan dan anak perempuan dalam prostitusi melalui pelatihan yang peka gender bagi lembaga peradilan, polisi dan masyarakat umum untuk mendorong para korban untuk melaporkan pelanggaran;
(c) Mencabut peraturan daerah yang bersifat diskriminatif, dengan maksud untuk mendekriminalisasi perempuan dalam prostitusi.
- Pertanyaan Panduan
- Apakah anda menemukan kasus-kasus perdagangan orang di sekitar anda?
- Apakah memenuhi unsur Proses, Cara dan Tujuan?
- Apa yg akan anda lakukan?
- Apa yang telah dilakukan oleh Negara untuk memastikan terpenuhinya hak-hak buruh perempuan?
- Sektor kerja apa saja yang masih mendiskriminasi perempuan?
- Mengapa buruh perempuan masih mengalami kekerasan dan diskriminasi?
- Apa peran Negara dalam mencegah dan mengatasi kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap buruh perempuan?
- Diskusi & Tanggapan